Jumat, 19 Desember 2008

syarat ketentuan safety

BAB IX

KONSEP CONSTRUCTION SAFETY AND HEALTH (CHS)


TUJUAN

Tujuan dari bab ini adalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang konsep CHS dan aspek-aspeknya, yang diterapkan pada pekerjaan proyek konstruksi.
1 Setelah memepelajari bab ini pembaca diharapkan mampu untuk:
2 Menjelaskan perbedaan antara konsep CSH dengan konsep K3
3 Menjelaskan kenapa biaya keselamatan (safety cost) harus dikeluarkan oleh perusahaan kontraktor.
4 Menjelaskan bagaimana sebaiknya peran kontraktor dalam CSH.
5 Menjelaskan bagaimana pelaksanaan CSH yang baik oleh kontraktor .


9.1. UMUM

Contruction safety and Health (CSH), merupakan penerapan secara spesifik dari safety engineering dalam industri konstruksi. Konsep ini baru di kembangkan 5 atau 6 dekade yang lalu. Jadi hal ini dapat dikatakan relatif masih baru, apa lagi jika di lihat di Indonesia.
Di Negara-negara maju seperti di USA telah ada data statistik tentang kecelakaan konstruksi tiap tahunnya. Baik tentang kerugian jiwa maupun kerugian harta. Dengan damikian dapat dievaluasi perkembangan peranan Safety Engineering. Informasi The Business Round Table (BRT) di USA telah mulai memberikan Construction Industry Excellence (CISE) Award. Pemenang award itu antara lain:
1 Air Product and Chemicals Inc (1988).
2 Mon Santo Chemical Company (1989).
3 Gulf States, Inc (1989).
4 KCI Constructor (1992).
Konsep keselamatan dalam CSH adalah bahwa keselamatan bukan hanya semata-mata keselamatan pekerja saja tetapi juga keselamatan bangunan, atau dengan perkataan lain CSH meliputi faktor manusia dan faktor ekonomi.
Hario sabrang menyatakan dalam penyelenggaraan K-3 pada sektor industri jasa konstruksi haruslah bersifat mengurangi probabilitas terjadi nya kecelakaan serta dampak negatif terhadap kesehatan para pekerja, dan dilakukan secara effektif serta effisien, tertib dan tidak menimbulkan ketegangan.
Peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan kerja dan kesehatan kerja dalam sektor konstruksi , khususnya yang ditujukan untuk jasa konstruksi, haruslah bersifat antisipatif terhadap persoalan yang terjadi di lapangan.


9.2.ASPEK ASPEK DALAM CSH

Dalam CSH ada dua aspek penting yang harus di capai, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek ekonomi. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan :
o Aspek kemanusiaan, aspek ini terlihat jelas pada penerapan CSH. Tidak satu pihakpun yang terlibat dalam proses konstruksi yang menginginkan pekerja mengalami kecelakaan dalam pekerjaannya, yang menjadi pertaanyaan adalah apakah keinginan itu sudah didukung oleh suatu sistem keamanan yang baik. Aspek ini oleh pemerintah dan organisasi pekerja sangat ditonjolkan sehingga kriteria accident adalah bila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya manusia atau cacat permanen. Penghargaan zero accident banyak diartikan tidak terjadinya korban manusia.
o Aspek ekonomi, biaya kecelakaan konstruksi telah di hitung dalam bermacam cara. Pada tahun 1980-an telah tercatat dari berbagai sumber bahwa biaya kecelakaan dalam industri konstruksi mencapai 6,5 % dari total biaya konstruksi sebesar US $ 300 milyar atau ± US $ 20 milyar per-tahun. Dari aspek ekonomi memaksa owner maupun kontraktor untuk melakukan pendekatan yang pragmatis terhadap keamanan konstruksi. Keuntungan ekonomi yang didapat biasanya akan membuat lebih mudah untuk memasyarakatkan CSH.


9.3.BIAYA KESELAMATAN (Safety Cost)

Biaya keselamatan (safety cost) dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
 Direct cost of safety, adalah biaya-biaya langsung yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi, biaya ini relative lebih mudah di hitung antara lain seperti
o Bermacam-macam asuransi baik jiwa maupun harta
o Peralatan keselamatan (safety equipment)
o Fasilitas keselamatan
o Bangunan-bangunan pengamanan termasuk pembuatan rambu-rambu
o Pengawasan
 Indirect cost of safety, adalah biaya-biaya yang secara tidak langsung berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi. Biaya-biaya ini sulit untuk diestimasikan. Ada reference yang menyebutkan biaya ini kurang lebih 4 sampai 17 kali besarnya direct cost of safety. Yang termasuk biaya tidak langsung ini adalah seperti :
oLambatnya dikembalikannya pekerja
oKehilangan effisiensi dari tim kerja
o Biaya pembersihan, perbaikan dan penempatan kembali peralatan
o Biaya lembur yang diharuskan oleh kecelakaan
o Biaya personal keselamatan dari kecelakaan
o Biaya penempatan kembali pekerja
o Biaya mendatangkan dengan tundaan akibat kecelakaan
o Upah untuk supervisor dari kecelakaan
o Biaya penjadwalan ulang pekerjaan
o Biaya transportasi
o Upah yang dibayarkan kepada pekerja yang cedera selama tidak bekerja


9.4.PERAN KONTRAKTOR DALAM CSH

Pihak-pihak yang berperan dan berpengaruh dalam CSH adalah Pemerintah, Organisasi Pekerjaan, Asuransi, Owner, Kontraktor dan lain-lain. Dari banyak pihak tersebut yang perannya besar adalah kontraktor, karena kontraktor terlibat secara lengkap pada perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses kontruksi.

 Manajeman Kontraktor, didalam manajemen kontraktor terdapat hubungan yang sangat erat di antara fungsi-fungsi yang ada yaitu fungsi manajemen pemasaran, manajemen operasi / produksi, dan manajemen sumber daya manusia. Kegiatan intinya adalah manajemen produksi yaitu kegiatan pelaksanaan proyek. Kegiatan pelaksanaan proyek baru ada, sebagai hasil kegiatan pemasaran, kemudian di dalam pelaksanaan proyek kegiatannya didukung oleh pengaturan sumber daya milik perusahaan (uang, tenaga kerja, dan alat) sasaran dari kegiatan usaha kontraktor dapat di jabarkan dalam 3 hal yaitu :
o Profit / keuntungan
o Performance / kinerja
o Profesionalisme
Ketiga sasaran tersebut dicapai melalui pengendalian biaya, mutu, waktu dan safety. Bila profit tercapai maka akan memperkuat manajeman sumber daya, bila performance diperoleh akan mempermudah / memperkuat manajemen pemasaran, dan bila perusahaan memperoleh profesionalisme / keahlian atau ketrampilan maka hal ini akan memperkuat manajemen produksi sebagai inti kegiatannya.
 CHS dalam Manajemen Proyek, untuk mencapai sasaran proyek akan perlu adanya pengendalian dalam aspek biaya, mutu, dan waktu (BMW) ditambah dengan keselamatan (safety). Masing-masing mempunyai alat kendali yang merupakan produk perencanaan dalam manajemen proyek konstuksi , yaitu :
o Biaya, alat kendalinya adalah Anggaran Biaya Pelaksanaan ( Cost Budgeting ).
o Mutu, alat kendalinya adalah Rencana Mutu ( Quality Plan ).
o Waktu, alat kendalinya adalah Rencana Waktu Pelaksanaan ( Time Schedule )
o Safety , alat kendalinya adalah Rencana Keselamatan ( Safety Plan )
 Cost of Safety, dengan pola pemikiran yang saat seperti Cost of Quality, maka Cost of Safety dapat digambarkan dari tiga unsur yaitu :
o Inspection cost (biaya inspeksi)
o Prevection cost (biaya pencegahan)
o Accident cost (biaya kecelakaan)
Bila system keamanan belum berlaku, biasanya biaya inspection dan prevention kecil sedang biaya accident besar. Dengan upaya CSH maka sasaran utamanya adalah menekan sekecil mungkin biaya accident dengan memperbesar biaya prevention atau inspection sehingga total cost of safety menurun. Total cost of safety tersebut masih dapat diturunkan dengan pola investasi pada biaya prevention. Maksudnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prevention seperti peralatan keamanan bangunan dan rambu-rambu keamanan dibuat yang permanen dan dapat dipakai berkali-kali sehingga dibebankan sebagai investasi. Dengan demikian biaya prevention menjadi biaya depresiasi dari investasi yang dilakukan.


9.5.PELAKSANAAN CSH

Dalam pelaksanaan CSH, kontraktor adalah pihak yang paling bertanggung jawab sekaligus pihak yang paling menerima resikonya, sekalipun sudah dicover dengan asuransi. Disamping itu kegiatan CSH yang ada pada kontraktor adalah paling lengkap dan nyata yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.















Gambar 9.1. : Unsur-unsur penyebab accident

o Unsur-unsur yang menyebabkan accident pada proses konstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat gambar 9.1.) :
 Pelaku konstruksi yang meliputi ; pekerja, tukang, mandor, supervisor, staf manager maupun manager harus dalam keadaan sehat lahir batin. Serta memepunyai kemampuan melaksanaakan tugasnya dalam situasi dan kondisi yang ditutuntut lapangan.
 Construction material, material yang digunakan baik untuk bangunan itu sendiri maupun untuk pekerjaan bantu / persiapan, harus menggunakan kualitas serta ukuran yang ditetapkan dalam perencanaan.
 Construction equipment, semua peralatan yang digunakan ukurannya harus dikalibrasi dan masih berlaku, alat harus memiliki sertifikat layak pakai.
 Construction design, disain yang dibuat oleh perencana perlu dicermati dan dievaluasi secara lebih khusus, mengingat dapat saja terjadi kekeliruan informasi sehingga disain yang dibuat tidak cukup aman untuk dilaksanakan. Biaya konsultan value engineering mengembangkan disain yang disesuaikan dengan hasil evaluasinya, desain ini tetap harus mem-pertimbangkan faktor safety nya hal ini menjadi penting sebab dengan demikian cost reduction terhadap desain yang sudah ada dapat dilakukan dengan aman.
 Construction method, peran construction method sangat besar dan yang dipilih harus dapat diyakini akan memberikan indikasi :
 Secara teknis aman
 Peralatan yang digunakan cocok / sesuai
 Pelaku-pelakunya cukup punya pengalaman
 Sudah mempertimbangkan safety
Perubahan construction method di lapangan dapat saja terjadi, tetapi tetap harus dalam kerangka pertimbangan safety.

o Pekerjaan yang rawan kecelakaan, pekerjaan konstruksi pada umunya memiliki resiko yang besar terhadap kecelakaan (accident), apalagi bangunan tinggi yang biasanya juga memerlukan basement (ruang di bawah tanah) yang cukup dalam. Kecelakaan yang dimaksud adalah seluruh jenis kecelakaan yang menimpa orang saja, bangunan saja, maupun yang menimpa keduanya. Peranan construction method, khususnya untuk jenis pekerjaan yang rawan kecelakaan sangat besar sekali dalam menjamin keamanan terhadap kecelakaan tersebut. Tindakan yang diperlukan untuk pekerjaan yang rawan dapat dilakukan berupa :
1. Tindakan pencegahan berupa:
 Pemakaian alat pelindung / pengaman seperti safety hat, safety shoes, safety belt, dan lain-lain.
 Pemasangan rambu-rambu di tempat rawan kecelakaan
 Pembuangan material sisa/sampah dari atas melalui jalur yang tertutup
 Menjaga kesehatan lingkungan kerja.
 Pembuatan construction method yang aman .
 Penggunaan alat-alat pengangkat yang aman
 Pemasangan bangunan pengaman sementara.
 Melakukan pengawasan pelaksanaan CSH .
2. Tindakan penyelamatan berupa :
 Menyiapkan tenaga dan alat-alat khusus untuk di evakuasi.
 Menyiapkan poliklinik atau bekerjasama dengan rumah sakit terdekat.
 Mengevakuasi kejadian kecelakaan dan segera melakukan tindakan agar kecelakaan tidak meluas dan terkendali.
 Perencanaan evaluasi ditempat kerja yang rawan kecelakaan.

o Pelaksanaan safety, untuk tindakan pencegahan dapat dilakukan oleh setiap petugas yang terkait, tetapi untuk pengawasan serta tindakan penyelamatan harus ada petugas khusus. Oleh karena itu di dalam struktur organisasi kontraktor baik di lapangan maupun di kantor pusat harus ada petugas safety. Di lapangan petugas tersebut dapat disebut sebagai safety engineer, secara operasional di bawah kendali project manager dan secara fungsional di bawah safety manager.
o Ruang lingkup, ruang lingkup CSH meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
 Dalam perencanaan ada tiga mandat yang harus dipenuhi yaitu: perencanaan yang aman, pelaksanaan yang aman dan penggunaan yang aman. Dalam kegiatan perencanaan kegiatan yang dilakukan meliputi :
 Menyiapkan safety manual, termasuk pencegahan kebakaran dan peledakan.
 Membuat construction method yang aman.
 Membuat rencana bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu
 Membuat rincian peralatan keamanan dan perlindungan yang diperlukan
 Membuat rencana bangunan toilet untuk perkeja
 Membuat rencana pembuangan sampah khususnya sampah dari bangunan atas
 Membuat rencana evakuasi kemungkinan terjadinya accident.
Pelaksanaan, meliputi :
 Menyiapkan alat-alat pelindung diri untuk dipakai setiap pekerja
 Membuat bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu , alat pemadam kebakaran dan lain-lain
 Membuat bangunan toilet untuk pekerja
 Membuat tempat pembuangan sampah yang bergerak ke atas mengikuti perkembangan pekerjaan
 Melakukan koordinasi denganb kegiatan pelakasanaan bangunan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan
 Melakukan evakuasi dan pengamanan jika terjadi accident
 Pengawasan meliputi :
 Kegiatan input
 Kegiatan proses
 Kegiatan output

Edward J. Jeselskis, menyampaikan ada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menilai keberhasilan pelaksanaan program CSH pada sebuah proyek yaitu :
o Perilaku manajemen atas
o Perputaran tim manajemen proyek
o Waktu yang diberikan untuk program CSH oleh perwakilan lapangannya
o Jumlah pertemuan dengan pelaksana.
o Kontraktor spesialis
o Inspeksi lapangan oleh tim CSH
o Kemahiran pekerja dalam pelaksanaan CSH


9.6.KUALIFIKASI KESELAMATAN DAN KEHATI-HATIAN KONTRAKTOR

Sebelum tender persiapan yang perlu dilakukan, safety engineer mengembangkan kriteria untuk unjuk kerja keselamatan dengan rincian sebagai berikut :
o Kontraktor menyampaikan pengalaman tentang cacat dan kerusakan yang terjadi selama pengalaman 5 tahun terakhir yaitu tentang :
 Bahaya
 Cacat
 Waktu hilang
 Biaya medis dan kompensasi
 Penjelasan rinci dan kejadian
Peralatan berbahaya atau fasilitas yang termasuk di dalamnya
 Pengukuran keseluruhan penanggulangan bahaya
o Tingkat modifikasi pengalaman ( Experience Modification Rate / EMR ) kontraktor untuk kompensasi pekerja
o Program dan tulisan kebijakan keselamatan dari kontraktor
o Referensi dari pihak lain yang melakukan evaluasi terhadap unjuk kerja kontraktor tentang program keselamatannya
o Rekaman pengalaman kontraktor sebelum mendapatkan penghargaan Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
o Jika mungkin informasi dari kontraktor sebagai pemakaian metode dan peralatan dalam praktek pembangunan.


RANGKUMAN

Perbedaan yang mendasar antara program K3 dengan program CSH adalah pada penekanan kegiatan, yaitu untuk program K3 lebih berorientasi pada keselamatan pekerja atau faktor manusia, sedangkan program CSH berpijak pada faktor manusia dan faktor ekonomi . Sehingga program CSH terlihat lebih proporsional dan lebih realistis.
Dalam hal biaya keselamatan, variabel-variabelnya hampir sama dengan konsep K3, dimana dalam CSH memakai istilah direct cost of safety dan indirect cost of safety yang semuanya dibagi dalam inspection cost (biaya inspeksi), prevention cost (biaya pencegahan) dan accident cost (biaya kecelakaan) .


LATIHAN

1.Jelaskan bagaimana konsep program CSH, bila dibandingkan dengan konsep program K3?
2. Jelaskan apa yang saudara ketahui dengan biaya keselamatan?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menjadi sumber bahaya dan kecelakaan?
BAB IX

KONSEP CONSTRUCTION SAFETY AND HEALTH (CHS)


TUJUAN

Tujuan dari bab ini adalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang konsep CHS dan aspek-aspeknya, yang diterapkan pada pekerjaan proyek konstruksi.
1 Setelah memepelajari bab ini pembaca diharapkan mampu untuk:
2 Menjelaskan perbedaan antara konsep CSH dengan konsep K3
3 Menjelaskan kenapa biaya keselamatan (safety cost) harus dikeluarkan oleh perusahaan kontraktor.
4 Menjelaskan bagaimana sebaiknya peran kontraktor dalam CSH.
5 Menjelaskan bagaimana pelaksanaan CSH yang baik oleh kontraktor .


9.1. UMUM

Contruction safety and Health (CSH), merupakan penerapan secara spesifik dari safety engineering dalam industri konstruksi. Konsep ini baru di kembangkan 5 atau 6 dekade yang lalu. Jadi hal ini dapat dikatakan relatif masih baru, apa lagi jika di lihat di Indonesia.
Di Negara-negara maju seperti di USA telah ada data statistik tentang kecelakaan konstruksi tiap tahunnya. Baik tentang kerugian jiwa maupun kerugian harta. Dengan damikian dapat dievaluasi perkembangan peranan Safety Engineering. Informasi The Business Round Table (BRT) di USA telah mulai memberikan Construction Industry Excellence (CISE) Award. Pemenang award itu antara lain:
1 Air Product and Chemicals Inc (1988).
2 Mon Santo Chemical Company (1989).
3 Gulf States, Inc (1989).
4 KCI Constructor (1992).
Konsep keselamatan dalam CSH adalah bahwa keselamatan bukan hanya semata-mata keselamatan pekerja saja tetapi juga keselamatan bangunan, atau dengan perkataan lain CSH meliputi faktor manusia dan faktor ekonomi.
Hario sabrang menyatakan dalam penyelenggaraan K-3 pada sektor industri jasa konstruksi haruslah bersifat mengurangi probabilitas terjadi nya kecelakaan serta dampak negatif terhadap kesehatan para pekerja, dan dilakukan secara effektif serta effisien, tertib dan tidak menimbulkan ketegangan.
Peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan kerja dan kesehatan kerja dalam sektor konstruksi , khususnya yang ditujukan untuk jasa konstruksi, haruslah bersifat antisipatif terhadap persoalan yang terjadi di lapangan.


9.2.ASPEK ASPEK DALAM CSH

Dalam CSH ada dua aspek penting yang harus di capai, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek ekonomi. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan :
o Aspek kemanusiaan, aspek ini terlihat jelas pada penerapan CSH. Tidak satu pihakpun yang terlibat dalam proses konstruksi yang menginginkan pekerja mengalami kecelakaan dalam pekerjaannya, yang menjadi pertaanyaan adalah apakah keinginan itu sudah didukung oleh suatu sistem keamanan yang baik. Aspek ini oleh pemerintah dan organisasi pekerja sangat ditonjolkan sehingga kriteria accident adalah bila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya manusia atau cacat permanen. Penghargaan zero accident banyak diartikan tidak terjadinya korban manusia.
o Aspek ekonomi, biaya kecelakaan konstruksi telah di hitung dalam bermacam cara. Pada tahun 1980-an telah tercatat dari berbagai sumber bahwa biaya kecelakaan dalam industri konstruksi mencapai 6,5 % dari total biaya konstruksi sebesar US $ 300 milyar atau ± US $ 20 milyar per-tahun. Dari aspek ekonomi memaksa owner maupun kontraktor untuk melakukan pendekatan yang pragmatis terhadap keamanan konstruksi. Keuntungan ekonomi yang didapat biasanya akan membuat lebih mudah untuk memasyarakatkan CSH.


9.3.BIAYA KESELAMATAN (Safety Cost)

Biaya keselamatan (safety cost) dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
 Direct cost of safety, adalah biaya-biaya langsung yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi, biaya ini relative lebih mudah di hitung antara lain seperti
o Bermacam-macam asuransi baik jiwa maupun harta
o Peralatan keselamatan (safety equipment)
o Fasilitas keselamatan
o Bangunan-bangunan pengamanan termasuk pembuatan rambu-rambu
o Pengawasan
 Indirect cost of safety, adalah biaya-biaya yang secara tidak langsung berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi. Biaya-biaya ini sulit untuk diestimasikan. Ada reference yang menyebutkan biaya ini kurang lebih 4 sampai 17 kali besarnya direct cost of safety. Yang termasuk biaya tidak langsung ini adalah seperti :
oLambatnya dikembalikannya pekerja
oKehilangan effisiensi dari tim kerja
o Biaya pembersihan, perbaikan dan penempatan kembali peralatan
o Biaya lembur yang diharuskan oleh kecelakaan
o Biaya personal keselamatan dari kecelakaan
o Biaya penempatan kembali pekerja
o Biaya mendatangkan dengan tundaan akibat kecelakaan
o Upah untuk supervisor dari kecelakaan
o Biaya penjadwalan ulang pekerjaan
o Biaya transportasi
o Upah yang dibayarkan kepada pekerja yang cedera selama tidak bekerja


9.4.PERAN KONTRAKTOR DALAM CSH

Pihak-pihak yang berperan dan berpengaruh dalam CSH adalah Pemerintah, Organisasi Pekerjaan, Asuransi, Owner, Kontraktor dan lain-lain. Dari banyak pihak tersebut yang perannya besar adalah kontraktor, karena kontraktor terlibat secara lengkap pada perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses kontruksi.

 Manajeman Kontraktor, didalam manajemen kontraktor terdapat hubungan yang sangat erat di antara fungsi-fungsi yang ada yaitu fungsi manajemen pemasaran, manajemen operasi / produksi, dan manajemen sumber daya manusia. Kegiatan intinya adalah manajemen produksi yaitu kegiatan pelaksanaan proyek. Kegiatan pelaksanaan proyek baru ada, sebagai hasil kegiatan pemasaran, kemudian di dalam pelaksanaan proyek kegiatannya didukung oleh pengaturan sumber daya milik perusahaan (uang, tenaga kerja, dan alat) sasaran dari kegiatan usaha kontraktor dapat di jabarkan dalam 3 hal yaitu :
o Profit / keuntungan
o Performance / kinerja
o Profesionalisme
Ketiga sasaran tersebut dicapai melalui pengendalian biaya, mutu, waktu dan safety. Bila profit tercapai maka akan memperkuat manajeman sumber daya, bila performance diperoleh akan mempermudah / memperkuat manajemen pemasaran, dan bila perusahaan memperoleh profesionalisme / keahlian atau ketrampilan maka hal ini akan memperkuat manajemen produksi sebagai inti kegiatannya.
 CHS dalam Manajemen Proyek, untuk mencapai sasaran proyek akan perlu adanya pengendalian dalam aspek biaya, mutu, dan waktu (BMW) ditambah dengan keselamatan (safety). Masing-masing mempunyai alat kendali yang merupakan produk perencanaan dalam manajemen proyek konstuksi , yaitu :
o Biaya, alat kendalinya adalah Anggaran Biaya Pelaksanaan ( Cost Budgeting ).
o Mutu, alat kendalinya adalah Rencana Mutu ( Quality Plan ).
o Waktu, alat kendalinya adalah Rencana Waktu Pelaksanaan ( Time Schedule )
o Safety , alat kendalinya adalah Rencana Keselamatan ( Safety Plan )
 Cost of Safety, dengan pola pemikiran yang saat seperti Cost of Quality, maka Cost of Safety dapat digambarkan dari tiga unsur yaitu :
o Inspection cost (biaya inspeksi)
o Prevection cost (biaya pencegahan)
o Accident cost (biaya kecelakaan)
Bila system keamanan belum berlaku, biasanya biaya inspection dan prevention kecil sedang biaya accident besar. Dengan upaya CSH maka sasaran utamanya adalah menekan sekecil mungkin biaya accident dengan memperbesar biaya prevention atau inspection sehingga total cost of safety menurun. Total cost of safety tersebut masih dapat diturunkan dengan pola investasi pada biaya prevention. Maksudnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prevention seperti peralatan keamanan bangunan dan rambu-rambu keamanan dibuat yang permanen dan dapat dipakai berkali-kali sehingga dibebankan sebagai investasi. Dengan demikian biaya prevention menjadi biaya depresiasi dari investasi yang dilakukan.


9.5. PELAKSANAAN CSH

Dalam pelaksanaan CSH, kontraktor adalah pihak yang paling bertanggung jawab sekaligus pihak yang paling menerima resikonya, sekalipun sudah dicover dengan asuransi. Disamping itu kegiatan CSH yang ada pada kontraktor adalah paling lengkap dan nyata yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.















Gambar 9.1. : Unsur-unsur penyebab accident

o Unsur-unsur yang menyebabkan accident pada proses konstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat gambar 9.1.) :
 Pelaku konstruksi yang meliputi ; pekerja, tukang, mandor, supervisor, staf manager maupun manager harus dalam keadaan sehat lahir batin. Serta memepunyai kemampuan melaksanaakan tugasnya dalam situasi dan kondisi yang ditutuntut lapangan.
 Construction material, material yang digunakan baik untuk bangunan itu sendiri maupun untuk pekerjaan bantu / persiapan, harus menggunakan kualitas serta ukuran yang ditetapkan dalam perencanaan.
 Construction equipment, semua peralatan yang digunakan ukurannya harus dikalibrasi dan masih berlaku, alat harus memiliki sertifikat layak pakai.
 Construction design, disain yang dibuat oleh perencana perlu dicermati dan dievaluasi secara lebih khusus, mengingat dapat saja terjadi kekeliruan informasi sehingga disain yang dibuat tidak cukup aman untuk dilaksanakan. Biaya konsultan value engineering mengembangkan disain yang disesuaikan dengan hasil evaluasinya, desain ini tetap harus mem-pertimbangkan faktor safety nya hal ini menjadi penting sebab dengan demikian cost reduction terhadap desain yang sudah ada dapat dilakukan dengan aman.
 Construction method, peran construction method sangat besar dan yang dipilih harus dapat diyakini akan memberikan indikasi :
 Secara teknis aman
 Peralatan yang digunakan cocok / sesuai
 Pelaku-pelakunya cukup punya pengalaman
 Sudah mempertimbangkan safety
Perubahan construction method di lapangan dapat saja terjadi, tetapi tetap harus dalam kerangka pertimbangan safety.

o Pekerjaan yang rawan kecelakaan, pekerjaan konstruksi pada umunya memiliki resiko yang besar terhadap kecelakaan (accident), apalagi bangunan tinggi yang biasanya juga memerlukan basement (ruang di bawah tanah) yang cukup dalam. Kecelakaan yang dimaksud adalah seluruh jenis kecelakaan yang menimpa orang saja, bangunan saja, maupun yang menimpa keduanya. Peranan construction method, khususnya untuk jenis pekerjaan yang rawan kecelakaan sangat besar sekali dalam menjamin keamanan terhadap kecelakaan tersebut. Tindakan yang diperlukan untuk pekerjaan yang rawan dapat dilakukan berupa :
1. Tindakan pencegahan berupa:
 Pemakaian alat pelindung / pengaman seperti safety hat, safety shoes, safety belt, dan lain-lain.
 Pemasangan rambu-rambu di tempat rawan kecelakaan
 Pembuangan material sisa/sampah dari atas melalui jalur yang tertutup
 Menjaga kesehatan lingkungan kerja.
 Pembuatan construction method yang aman .
 Penggunaan alat-alat pengangkat yang aman
 Pemasangan bangunan pengaman sementara.
 Melakukan pengawasan pelaksanaan CSH .
2. Tindakan penyelamatan berupa :
 Menyiapkan tenaga dan alat-alat khusus untuk di evakuasi.
 Menyiapkan poliklinik atau bekerjasama dengan rumah sakit terdekat.
 Mengevakuasi kejadian kecelakaan dan segera melakukan tindakan agar kecelakaan tidak meluas dan terkendali.
 Perencanaan evaluasi ditempat kerja yang rawan kecelakaan.

o Pelaksanaan safety, untuk tindakan pencegahan dapat dilakukan oleh setiap petugas yang terkait, tetapi untuk pengawasan serta tindakan penyelamatan harus ada petugas khusus. Oleh karena itu di dalam struktur organisasi kontraktor baik di lapangan maupun di kantor pusat harus ada petugas safety. Di lapangan petugas tersebut dapat disebut sebagai safety engineer, secara operasional di bawah kendali project manager dan secara fungsional di bawah safety manager.
o Ruang lingkup, ruang lingkup CSH meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
 Dalam perencanaan ada tiga mandat yang harus dipenuhi yaitu: perencanaan yang aman, pelaksanaan yang aman dan penggunaan yang aman. Dalam kegiatan perencanaan kegiatan yang dilakukan meliputi :
 Menyiapkan safety manual, termasuk pencegahan kebakaran dan peledakan.
 Membuat construction method yang aman.
 Membuat rencana bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu
 Membuat rincian peralatan keamanan dan perlindungan yang diperlukan
 Membuat rencana bangunan toilet untuk perkeja
 Membuat rencana pembuangan sampah khususnya sampah dari bangunan atas
 Membuat rencana evakuasi kemungkinan terjadinya accident.
 Pelaksanaan, meliputi :
 Menyiapkan alat-alat pelindung diri untuk dipakai setiap pekerja
 Membuat bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu , alat pemadam kebakaran dan lain-lain
 Membuat bangunan toilet untuk pekerja
 Membuat tempat pembuangan sampah yang bergerak ke atas mengikuti perkembangan pekerjaan
 Melakukan koordinasi denganb kegiatan pelakasanaan bangunan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan
 Melakukan evakuasi dan pengamanan jika terjadi accident
 Pengawasan meliputi :
 Kegiatan input
 Kegiatan proses
 Kegiatan output

Edward J. Jeselskis, menyampaikan ada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menilai keberhasilan pelaksanaan program CSH pada sebuah proyek yaitu :
o Perilaku manajemen atas
o Perputaran tim manajemen proyek
o Waktu yang diberikan untuk program CSH oleh perwakilan lapangannya
o Jumlah pertemuan dengan pelaksana.
o Kontraktor spesialis
o Inspeksi lapangan oleh tim CSH
o Kemahiran pekerja dalam pelaksanaan CSH


9.6. KUALIFIKASI KESELAMATAN DAN KEHATI-HATIAN KONTRAKTOR

Sebelum tender persiapan yang perlu dilakukan, safety engineer mengembangkan kriteria untuk unjuk kerja keselamatan dengan rincian sebagai berikut :
o Kontraktor menyampaikan pengalaman tentang cacat dan kerusakan yang terjadi selama pengalaman 5 tahun terakhir yaitu tentang :
 Bahaya
 Cacat
 Waktu hilang
 Biaya medis dan kompensasi
 Penjelasan rinci dan kejadian
 Peralatan berbahaya atau fasilitas yang termasuk di dalamnya
 Pengukuran keseluruhan penanggulangan bahaya
o Tingkat modifikasi pengalaman ( Experience Modification Rate / EMR ) kontraktor untuk kompensasi pekerja
o Program dan tulisan kebijakan keselamatan dari kontraktor
o Referensi dari pihak lain yang melakukan evaluasi terhadap unjuk kerja kontraktor tentang program keselamatannya
o Rekaman pengalaman kontraktor sebelum mendapatkan penghargaan Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
o Jika mungkin informasi dari kontraktor sebagai pemakaian metode dan peralatan dalam praktek pembangunan.


RANGKUMAN

Perbedaan yang mendasar antara program K3 dengan program CSH adalah pada penekanan kegiatan, yaitu untuk program K3 lebih berorientasi pada keselamatan pekerja atau faktor manusia, sedangkan program CSH berpijak pada faktor manusia dan faktor ekonomi . Sehingga program CSH terlihat lebih proporsional dan lebih realistis.
Dalam hal biaya keselamatan, variabel-variabelnya hampir sama dengan konsep K3, dimana dalam CSH memakai istilah direct cost of safety dan indirect cost of safety yang semuanya dibagi dalam inspection cost (biaya inspeksi), prevention cost (biaya pencegahan) dan accident cost (biaya kecelakaan) .


LATIHAN

1.Jelaskan bagaimana konsep program CSH, bila dibandingkan dengan konsep program K3?
2. Jelaskan apa yang saudara ketahui dengan biaya keselamatan?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menjadi sumber bahaya dan kecelakaan?

BAB IX

KONSEP CONSTRUCTION SAFETY AND HEALTH (CHS)


TUJUAN

Tujuan dari bab ini adalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang konsep CHS dan aspek-aspeknya, yang diterapkan pada pekerjaan proyek konstruksi.
1 Setelah memepelajari bab ini pembaca diharapkan mampu untuk:
2 Menjelaskan perbedaan antara konsep CSH dengan konsep K3
3 Menjelaskan kenapa biaya keselamatan (safety cost) harus dikeluarkan oleh perusahaan kontraktor.
4 Menjelaskan bagaimana sebaiknya peran kontraktor dalam CSH.
5 Menjelaskan bagaimana pelaksanaan CSH yang baik oleh kontraktor .


9.1. UMUM

Contruction safety and Health (CSH), merupakan penerapan secara spesifik dari safety engineering dalam industri konstruksi. Konsep ini baru di kembangkan 5 atau 6 dekade yang lalu. Jadi hal ini dapat dikatakan relatif masih baru, apa lagi jika di lihat di Indonesia.
Di Negara-negara maju seperti di USA telah ada data statistik tentang kecelakaan konstruksi tiap tahunnya. Baik tentang kerugian jiwa maupun kerugian harta. Dengan damikian dapat dievaluasi perkembangan peranan Safety Engineering. Informasi The Business Round Table (BRT) di USA telah mulai memberikan Construction Industry Excellence (CISE) Award. Pemenang award itu antara lain:
1 Air Product and Chemicals Inc (1988).
2 Mon Santo Chemical Company (1989).
3 Gulf States, Inc (1989).
4 KCI Constructor (1992).
Konsep keselamatan dalam CSH adalah bahwa keselamatan bukan hanya semata-mata keselamatan pekerja saja tetapi juga keselamatan bangunan, atau dengan perkataan lain CSH meliputi faktor manusia dan faktor ekonomi.
Hario sabrang menyatakan dalam penyelenggaraan K-3 pada sektor industri jasa konstruksi haruslah bersifat mengurangi probabilitas terjadi nya kecelakaan serta dampak negatif terhadap kesehatan para pekerja, dan dilakukan secara effektif serta effisien, tertib dan tidak menimbulkan ketegangan.
Peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan kerja dan kesehatan kerja dalam sektor konstruksi , khususnya yang ditujukan untuk jasa konstruksi, haruslah bersifat antisipatif terhadap persoalan yang terjadi di lapangan.


9.2.ASPEK ASPEK DALAM CSH

Dalam CSH ada dua aspek penting yang harus di capai, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek ekonomi. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan :
o Aspek kemanusiaan, aspek ini terlihat jelas pada penerapan CSH. Tidak satu pihakpun yang terlibat dalam proses konstruksi yang menginginkan pekerja mengalami kecelakaan dalam pekerjaannya, yang menjadi pertaanyaan adalah apakah keinginan itu sudah didukung oleh suatu sistem keamanan yang baik. Aspek ini oleh pemerintah dan organisasi pekerja sangat ditonjolkan sehingga kriteria accident adalah bila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya manusia atau cacat permanen. Penghargaan zero accident banyak diartikan tidak terjadinya korban manusia.
o Aspek ekonomi, biaya kecelakaan konstruksi telah di hitung dalam bermacam cara. Pada tahun 1980-an telah tercatat dari berbagai sumber bahwa biaya kecelakaan dalam industri konstruksi mencapai 6,5 % dari total biaya konstruksi sebesar US $ 300 milyar atau ± US $ 20 milyar per-tahun. Dari aspek ekonomi memaksa owner maupun kontraktor untuk melakukan pendekatan yang pragmatis terhadap keamanan konstruksi. Keuntungan ekonomi yang didapat biasanya akan membuat lebih mudah untuk memasyarakatkan CSH.


9.3.BIAYA KESELAMATAN (Safety Cost)

Biaya keselamatan (safety cost) dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
 Direct cost of safety, adalah biaya-biaya langsung yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi, biaya ini relative lebih mudah di hitung antara lain seperti
o Bermacam-macam asuransi baik jiwa maupun harta
o Peralatan keselamatan (safety equipment)
o Fasilitas keselamatan
o Bangunan-bangunan pengamanan termasuk pembuatan rambu-rambu
o Pengawasan
 Indirect cost of safety, adalah biaya-biaya yang secara tidak langsung berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi. Biaya-biaya ini sulit untuk diestimasikan. Ada reference yang menyebutkan biaya ini kurang lebih 4 sampai 17 kali besarnya direct cost of safety. Yang termasuk biaya tidak langsung ini adalah seperti :
oLambatnya dikembalikannya pekerja
oKehilangan effisiensi dari tim kerja
o Biaya pembersihan, perbaikan dan penempatan kembali peralatan
o Biaya lembur yang diharuskan oleh kecelakaan
o Biaya personal keselamatan dari kecelakaan
o Biaya penempatan kembali pekerja
o Biaya mendatangkan dengan tundaan akibat kecelakaan
o Upah untuk supervisor dari kecelakaan
o Biaya penjadwalan ulang pekerjaan
o Biaya transportasi
o Upah yang dibayarkan kepada pekerja yang cedera selama tidak bekerja


9.4.PERAN KONTRAKTOR DALAM CSH

Pihak-pihak yang berperan dan berpengaruh dalam CSH adalah Pemerintah, Organisasi Pekerjaan, Asuransi, Owner, Kontraktor dan lain-lain. Dari banyak pihak tersebut yang perannya besar adalah kontraktor, karena kontraktor terlibat secara lengkap pada perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses kontruksi.

 Manajeman Kontraktor, didalam manajemen kontraktor terdapat hubungan yang sangat erat di antara fungsi-fungsi yang ada yaitu fungsi manajemen pemasaran, manajemen operasi / produksi, dan manajemen sumber daya manusia. Kegiatan intinya adalah manajemen produksi yaitu kegiatan pelaksanaan proyek. Kegiatan pelaksanaan proyek baru ada, sebagai hasil kegiatan pemasaran, kemudian di dalam pelaksanaan proyek kegiatannya didukung oleh pengaturan sumber daya milik perusahaan (uang, tenaga kerja, dan alat) sasaran dari kegiatan usaha kontraktor dapat di jabarkan dalam 3 hal yaitu :
o Profit / keuntungan
o Performance / kinerja
o Profesionalisme
Ketiga sasaran tersebut dicapai melalui pengendalian biaya, mutu, waktu dan safety. Bila profit tercapai maka akan memperkuat manajeman sumber daya, bila performance diperoleh akan mempermudah / memperkuat manajemen pemasaran, dan bila perusahaan memperoleh profesionalisme / keahlian atau ketrampilan maka hal ini akan memperkuat manajemen produksi sebagai inti kegiatannya.
 CHS dalam Manajemen Proyek, untuk mencapai sasaran proyek akan perlu adanya pengendalian dalam aspek biaya, mutu, dan waktu (BMW) ditambah dengan keselamatan (safety). Masing-masing mempunyai alat kendali yang merupakan produk perencanaan dalam manajemen proyek konstuksi , yaitu :
o Biaya, alat kendalinya adalah Anggaran Biaya Pelaksanaan ( Cost Budgeting ).
o Mutu, alat kendalinya adalah Rencana Mutu ( Quality Plan ).
o Waktu, alat kendalinya adalah Rencana Waktu Pelaksanaan ( Time Schedule )
o Safety , alat kendalinya adalah Rencana Keselamatan ( Safety Plan )
 Cost of Safety, dengan pola pemikiran yang saat seperti Cost of Quality, maka Cost of Safety dapat digambarkan dari tiga unsur yaitu :
o Inspection cost (biaya inspeksi)
o Prevetion cost (biaya pencegahan)
o Accident cost (biaya kecelakaan)
Bila system keamanan belum berlaku, biasanya biaya inspection dan prevention kecil sedang biaya accident besar. Dengan upaya CSH maka sasaran utamanya adalah menekan sekecil mungkin biaya accident dengan memperbesar biaya prevention atau inspection sehingga total cost of safety menurun. Total cost of safety tersebut masih dapat diturunkan dengan pola investasi pada biaya prevention. Maksudnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prevention seperti peralatan keamanan bangunan dan rambu-rambu keamanan dibuat yang permanen dan dapat dipakai berkali-kali sehingga dibebankan sebagai investasi. Dengan demikian biaya prevention menjadi biaya depresiasi dari investasi yang dilakukan.


9.5. PELAKSANAAN CSH

Dalam pelaksanaan CSH, kontraktor adalah pihak yang paling bertanggung jawab sekaligus pihak yang paling menerima resikonya, sekalipun sudah dicover dengan asuransi. Disamping itu kegiatan CSH yang ada pada kontraktor adalah paling lengkap dan nyata yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.















Gambar 9.1. : Unsur-unsur penyebab accident

o Unsur-unsur yang menyebabkan accident pada proses konstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat gambar 9.1.) :
 Pelaku konstruksi yang meliputi ; pekerja, tukang, mandor, supervisor, staf manager maupun manager harus dalam keadaan sehat lahir batin. Serta memepunyai kemampuan melaksanaakan tugasnya dalam situasi dan kondisi yang ditutuntut lapangan.
 Construction material, material yang digunakan baik untuk bangunan itu sendiri maupun untuk pekerjaan bantu / persiapan, harus menggunakan kualitas serta ukuran yang ditetapkan dalam perencanaan.
 Construction equipment, semua peralatan yang digunakan ukurannya harus dikalibrasi dan masih berlaku, alat harus memiliki sertifikat layak pakai.
 Construction design, disain yang dibuat oleh perencana perlu dicermati dan dievaluasi secara lebih khusus, mengingat dapat saja terjadi kekeliruan informasi sehingga disain yang dibuat tidak cukup aman untuk dilaksanakan. Biaya konsultan value engineering mengembangkan disain yang disesuaikan dengan hasil evaluasinya, desain ini tetap harus mem-pertimbangkan faktor safety nya hal ini menjadi penting sebab dengan demikian cost reduction terhadap desain yang sudah ada dapat dilakukan dengan aman.
 Construction method, peran construction method sangat besar dan yang dipilih harus dapat diyakini akan memberikan indikasi :
 Secara teknis aman
 Peralatan yang digunakan cocok / sesuai
 Pelaku-pelakunya cukup punya pengalaman
 Sudah mempertimbangkan safety
Perubahan construction method di lapangan dapat saja terjadi, tetapi tetap harus dalam kerangka pertimbangan safety.

o Pekerjaan yang rawan kecelakaan, pekerjaan konstruksi pada umunya memiliki resiko yang besar terhadap kecelakaan (accident), apalagi bangunan tinggi yang biasanya juga memerlukan basement (ruang di bawah tanah) yang cukup dalam. Kecelakaan yang dimaksud adalah seluruh jenis kecelakaan yang menimpa orang saja, bangunan saja, maupun yang menimpa keduanya. Peranan construction method, khususnya untuk jenis pekerjaan yang rawan kecelakaan sangat besar sekali dalam menjamin keamanan terhadap kecelakaan tersebut. Tindakan yang diperlukan untuk pekerjaan yang rawan dapat dilakukan berupa :
1. Tindakan pencegahan berupa:
 Pemakaian alat pelindung / pengaman seperti safety hat, safety shoes, safety belt, dan lain-lain.
 Pemasangan rambu-rambu di tempat rawan kecelakaan
 Pembuangan material sisa/sampah dari atas melalui jalur yang tertutup
 Menjaga kesehatan lingkungan kerja.
 Pembuatan construction method yang aman .
 Penggunaan alat-alat pengangkat yang aman
 Pemasangan bangunan pengaman sementara.
 Melakukan pengawasan pelaksanaan CSH .
2. Tindakan penyelamatan berupa :
 Menyiapkan tenaga dan alat-alat khusus untuk di evakuasi.
 Menyiapkan poliklinik atau bekerjasama dengan rumah sakit terdekat.
 Mengevakuasi kejadian kecelakaan dan segera melakukan tindakan agar kecelakaan tidak meluas dan terkendali.
 Perencanaan evaluasi ditempat kerja yang rawan kecelakaan.

o Pelaksanaan safety, untuk tindakan pencegahan dapat dilakukan oleh setiap petugas yang terkait, tetapi untuk pengawasan serta tindakan penyelamatan harus ada petugas khusus. Oleh karena itu di dalam struktur organisasi kontraktor baik di lapangan maupun di kantor pusat harus ada petugas safety. Di lapangan petugas tersebut dapat disebut sebagai safety engineer, secara operasional di bawah kendali project manager dan secara fungsional di bawah safety manager.
o Ruang lingkup, ruang lingkup CSH meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
 Dalam perencanaan ada tiga mandat yang harus dipenuhi yaitu: perencanaan yang aman, pelaksanaan yang aman dan penggunaan yang aman. Dalam kegiatan perencanaan kegiatan yang dilakukan meliputi :
 Menyiapkan safety manual, termasuk pencegahan kebakaran dan peledakan.
 Membuat construction method yang aman.
 Membuat rencana bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu
 Membuat rincian peralatan keamanan dan perlindungan yang diperlukan
 Membuat rencana bangunan toilet untuk perkeja
 Membuat rencana pembuangan sampah khususnya sampah dari bangunan atas
 Membuat rencana evakuasi kemungkinan terjadinya accident.
 Pelaksanaan, meliputi :
 Menyiapkan alat-alat pelindung diri untuk dipakai setiap pekerja
 Membuat bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu , alat pemadam kebakaran dan lain-lain
 Membuat bangunan toilet untuk pekerja
 Membuat tempat pembuangan sampah yang bergerak ke atas mengikuti perkembangan pekerjaan
 Melakukan koordinasi denganb kegiatan pelakasanaan bangunan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan
 Melakukan evakuasi dan pengamanan jika terjadi accident
 Pengawasan meliputi :
 Kegiatan input
 Kegiatan proses
 Kegiatan output

Edward J. Jeselskis, menyampaikan ada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menilai keberhasilan pelaksanaan program CSH pada sebuah proyek yaitu :
o Perilaku manajemen atas
o Perputaran tim manajemen proyek
o Waktu yang diberikan untuk program CSH oleh perwakilan lapangannya
o Jumlah pertemuan dengan pelaksana.
o Kontraktor spesialis
o Inspeksi lapangan oleh tim CSH
o Kemahiran pekerja dalam pelaksanaan CSH


9.6. KUALIFIKASI KESELAMATAN DAN KEHATI-HATIAN KONTRAKTOR

Sebelum tender persiapan yang perlu dilakukan, safety engineer mengembangkan kriteria untuk unjuk kerja keselamatan dengan rincian sebagai berikut :
o Kontraktor menyampaikan pengalaman tentang cacat dan kerusakan yang terjadi selama pengalaman 5 tahun terakhir yaitu tentang :
 Bahaya
 Cacat
 Waktu hilang
 Biaya medis dan kompensasi
 Penjelasan rinci dan kejadian
 Peralatan berbahaya atau fasilitas yang termasuk di dalamnya
 Pengukuran keseluruhan penanggulangan bahaya
o Tingkat modifikasi pengalaman ( Experience Modification Rate / EMR ) kontraktor untuk kompensasi pekerja
o Program dan tulisan kebijakan keselamatan dari kontraktor
o Referensi dari pihak lain yang melakukan evaluasi terhadap unjuk kerja kontraktor tentang program keselamatannya
o Rekaman pengalaman kontraktor sebelum mendapatkan penghargaan Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
o Jika mungkin informasi dari kontraktor sebagai pemakaian metode dan peralatan dalam praktek pembangunan.


RANGKUMAN

Perbedaan yang mendasar antara program K3 dengan program CSH adalah pada penekanan kegiatan, yaitu untuk program K3 lebih berorientasi pada keselamatan pekerja atau faktor manusia, sedangkan program CSH berpijak pada faktor manusia dan faktor ekonomi . Sehingga program CSH terlihat lebih proporsional dan lebih realistis.
Dalam hal biaya keselamatan, variabel-variabelnya hampir sama dengan konsep K3, dimana dalam CSH memakai istilah direct cost of safety dan indirect cost of safety yang semuanya dibagi dalam inspection cost (biaya inspeksi), prevention cost (biaya pencegahan) dan accident cost (biaya kecelakaan) .


LATIHAN

1.Jelaskan bagaimana konsep program CSH, bila dibandingkan dengan konsep program K3?
2. Jelaskan apa yang saudara ketahui dengan biaya keselamatan?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menjadi sumber bahaya dan kecelakaan?

BAB IX

KONSEP CONSTRUCTION SAFETY AND HEALTH (CHS)


TUJUAN

Tujuan dari bab ini adalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang konsep CHS dan aspek-aspeknya, yang diterapkan pada pekerjaan proyek konstruksi.
1 Setelah memepelajari bab ini pembaca diharapkan mampu untuk:
2 Menjelaskan perbedaan antara konsep CSH dengan konsep K3
3 Menjelaskan kenapa biaya keselamatan (safety cost) harus dikeluarkan oleh perusahaan kontraktor.
4 Menjelaskan bagaimana sebaiknya peran kontraktor dalam CSH.
5 Menjelaskan bagaimana pelaksanaan CSH yang baik oleh kontraktor .


9.1. UMUM

Contruction safety and Health (CSH), merupakan penerapan secara spesifik dari safety engineering dalam industri konstruksi. Konsep ini baru di kembangkan 5 atau 6 dekade yang lalu. Jadi hal ini dapat dikatakan relatif masih baru, apa lagi jika di lihat di Indonesia.
Di Negara-negara maju seperti di USA telah ada data statistik tentang kecelakaan konstruksi tiap tahunnya. Baik tentang kerugian jiwa maupun kerugian harta. Dengan damikian dapat dievaluasi perkembangan peranan Safety Engineering. Informasi The Business Round Table (BRT) di USA telah mulai memberikan Construction Industry Excellence (CISE) Award. Pemenang award itu antara lain:
1 Air Product and Chemicals Inc (1988).
2 Mon Santo Chemical Company (1989).
3 Gulf States, Inc (1989).
4 KCI Constructor (1992).
Konsep keselamatan dalam CSH adalah bahwa keselamatan bukan hanya semata-mata keselamatan pekerja saja tetapi juga keselamatan bangunan, atau dengan perkataan lain CSH meliputi faktor manusia dan faktor ekonomi.
Hario sabrang menyatakan dalam penyelenggaraan K-3 pada sektor industri jasa konstruksi haruslah bersifat mengurangi probabilitas terjadi nya kecelakaan serta dampak negatif terhadap kesehatan para pekerja, dan dilakukan secara effektif serta effisien, tertib dan tidak menimbulkan ketegangan.
Peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan kerja dan kesehatan kerja dalam sektor konstruksi , khususnya yang ditujukan untuk jasa konstruksi, haruslah bersifat antisipatif terhadap persoalan yang terjadi di lapangan.


9.2.ASPEK ASPEK DALAM CSH

Dalam CSH ada dua aspek penting yang harus di capai, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek ekonomi. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan :
o Aspek kemanusiaan, aspek ini terlihat jelas pada penerapan CSH. Tidak satu pihakpun yang terlibat dalam proses konstruksi yang menginginkan pekerja mengalami kecelakaan dalam pekerjaannya, yang menjadi pertaanyaan adalah apakah keinginan itu sudah didukung oleh suatu sistem keamanan yang baik. Aspek ini oleh pemerintah dan organisasi pekerja sangat ditonjolkan sehingga kriteria accident adalah bila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya manusia atau cacat permanen. Penghargaan zero accident banyak diartikan tidak terjadinya korban manusia.
o Aspek ekonomi, biaya kecelakaan konstruksi telah di hitung dalam bermacam cara. Pada tahun 1980-an telah tercatat dari berbagai sumber bahwa biaya kecelakaan dalam industri konstruksi mencapai 6,5 % dari total biaya konstruksi sebesar US $ 300 milyar atau ± US $ 20 milyar per-tahun. Dari aspek ekonomi memaksa owner maupun kontraktor untuk melakukan pendekatan yang pragmatis terhadap keamanan konstruksi. Keuntungan ekonomi yang didapat biasanya akan membuat lebih mudah untuk memasyarakatkan CSH.


9.3.BIAYA KESELAMATAN (Safety Cost)

Biaya keselamatan (safety cost) dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
 Direct cost of safety, adalah biaya-biaya langsung yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi, biaya ini relative lebih mudah di hitung antara lain seperti
o Bermacam-macam asuransi baik jiwa maupun harta
o Peralatan keselamatan (safety equipment)
o Fasilitas keselamatan
o Bangunan-bangunan pengamanan termasuk pembuatan rambu-rambu
o Pengawasan
 Indirect cost of safety, adalah biaya-biaya yang secara tidak langsung berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan konstruksi. Biaya-biaya ini sulit untuk diestimasikan. Ada reference yang menyebutkan biaya ini kurang lebih 4 sampai 17 kali besarnya direct cost of safety. Yang termasuk biaya tidak langsung ini adalah seperti :
oLambatnya dikembalikannya pekerja
oKehilangan effisiensi dari tim kerja
o Biaya pembersihan, perbaikan dan penempatan kembali peralatan
o Biaya lembur yang diharuskan oleh kecelakaan
o Biaya personal keselamatan dari kecelakaan
o Biaya penempatan kembali pekerja
o Biaya mendatangkan dengan tundaan akibat kecelakaan
o Upah untuk supervisor dari kecelakaan
o Biaya penjadwalan ulang pekerjaan
o Biaya transportasi
o Upah yang dibayarkan kepada pekerja yang cedera selama tidak bekerja


9.4.PERAN KONTRAKTOR DALAM CSH

Pihak-pihak yang berperan dan berpengaruh dalam CSH adalah Pemerintah, Organisasi Pekerjaan, Asuransi, Owner, Kontraktor dan lain-lain. Dari banyak pihak tersebut yang perannya besar adalah kontraktor, karena kontraktor terlibat secara lengkap pada perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses kontruksi.

 Manajeman Kontraktor, didalam manajemen kontraktor terdapat hubungan yang sangat erat di antara fungsi-fungsi yang ada yaitu fungsi manajemen pemasaran, manajemen operasi / produksi, dan manajemen sumber daya manusia. Kegiatan intinya adalah manajemen produksi yaitu kegiatan pelaksanaan proyek. Kegiatan pelaksanaan proyek baru ada, sebagai hasil kegiatan pemasaran, kemudian di dalam pelaksanaan proyek kegiatannya didukung oleh pengaturan sumber daya milik perusahaan (uang, tenaga kerja, dan alat) sasaran dari kegiatan usaha kontraktor dapat di jabarkan dalam 3 hal yaitu :
o Profit / keuntungan
o Performance / kinerja
o Profesionalisme
Ketiga sasaran tersebut dicapai melalui pengendalian biaya, mutu, waktu dan safety. Bila profit tercapai maka akan memperkuat manajeman sumber daya, bila performance diperoleh akan mempermudah / memperkuat manajemen pemasaran, dan bila perusahaan memperoleh profesionalisme / keahlian atau ketrampilan maka hal ini akan memperkuat manajemen produksi sebagai inti kegiatannya.
 CHS dalam Manajemen Proyek, untuk mencapai sasaran proyek akan perlu adanya pengendalian dalam aspek biaya, mutu, dan waktu (BMW) ditambah dengan keselamatan (safety). Masing-masing mempunyai alat kendali yang merupakan produk perencanaan dalam manajemen proyek konstuksi , yaitu :
o Biaya, alat kendalinya adalah Anggaran Biaya Pelaksanaan ( Cost Budgeting ).
o Mutu, alat kendalinya adalah Rencana Mutu ( Quality Plan ).
o Waktu, alat kendalinya adalah Rencana Waktu Pelaksanaan ( Time Schedule )
o Safety , alat kendalinya adalah Rencana Keselamatan ( Safety Plan )
 Cost of Safety, dengan pola pemikiran yang saat seperti Cost of Quality, maka Cost of Safety dapat digambarkan dari tiga unsur yaitu :
o Inspection cost (biaya inspeksi)
o Prevection cost (biaya pencegahan)
o Accident cost (biaya kecelakaan)
Bila system keamanan belum berlaku, biasanya biaya inspection dan prevention kecil sedang biaya accident besar. Dengan upaya CSH maka sasaran utamanya adalah menekan sekecil mungkin biaya accident dengan memperbesar biaya prevention atau inspection sehingga total cost of safety menurun. Total cost of safety tersebut masih dapat diturunkan dengan pola investasi pada biaya prevention. Maksudnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prevention seperti peralatan keamanan bangunan dan rambu-rambu keamanan dibuat yang permanen dan dapat dipakai berkali-kali sehingga dibebankan sebagai investasi. Dengan demikian biaya prevention menjadi biaya depresiasi dari investasi yang dilakukan.


9.5. PELAKSANAAN CSH

Dalam pelaksanaan CSH, kontraktor adalah pihak yang paling bertanggung jawab sekaligus pihak yang paling menerima resikonya, sekalipun sudah dicover dengan asuransi. Disamping itu kegiatan CSH yang ada pada kontraktor adalah paling lengkap dan nyata yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.















Gambar 9.1. : Unsur-unsur penyebab accident

o Unsur-unsur yang menyebabkan accident pada proses konstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat gambar 9.1.) :
 Pelaku konstruksi yang meliputi ; pekerja, tukang, mandor, supervisor, staf manager maupun manager harus dalam keadaan sehat lahir batin. Serta memepunyai kemampuan melaksanaakan tugasnya dalam situasi dan kondisi yang ditutuntut lapangan.
 Construction material, material yang digunakan baik untuk bangunan itu sendiri maupun untuk pekerjaan bantu / persiapan, harus menggunakan kualitas serta ukuran yang ditetapkan dalam perencanaan.
 Construction equipment, semua peralatan yang digunakan ukurannya harus dikalibrasi dan masih berlaku, alat harus memiliki sertifikat layak pakai.
 Construction design, disain yang dibuat oleh perencana perlu dicermati dan dievaluasi secara lebih khusus, mengingat dapat saja terjadi kekeliruan informasi sehingga disain yang dibuat tidak cukup aman untuk dilaksanakan. Biaya konsultan value engineering mengembangkan disain yang disesuaikan dengan hasil evaluasinya, desain ini tetap harus mem-pertimbangkan faktor safety nya hal ini menjadi penting sebab dengan demikian cost reduction terhadap desain yang sudah ada dapat dilakukan dengan aman.
 Construction method, peran construction method sangat besar dan yang dipilih harus dapat diyakini akan memberikan indikasi :
 Secara teknis aman
 Peralatan yang digunakan cocok / sesuai
 Pelaku-pelakunya cukup punya pengalaman
 Sudah mempertimbangkan safety
Perubahan construction method di lapangan dapat saja terjadi, tetapi tetap harus dalam kerangka pertimbangan safety.

o Pekerjaan yang rawan kecelakaan, pekerjaan konstruksi pada umunya memiliki resiko yang besar terhadap kecelakaan (accident), apalagi bangunan tinggi yang biasanya juga memerlukan basement (ruang di bawah tanah) yang cukup dalam. Kecelakaan yang dimaksud adalah seluruh jenis kecelakaan yang menimpa orang saja, bangunan saja, maupun yang menimpa keduanya. Peranan construction method, khususnya untuk jenis pekerjaan yang rawan kecelakaan sangat besar sekali dalam menjamin keamanan terhadap kecelakaan tersebut. Tindakan yang diperlukan untuk pekerjaan yang rawan dapat dilakukan berupa :
1. Tindakan pencegahan berupa:
 Pemakaian alat pelindung / pengaman seperti safety hat, safety shoes, safety belt, dan lain-lain.
 Pemasangan rambu-rambu di tempat rawan kecelakaan
 Pembuangan material sisa/sampah dari atas melalui jalur yang tertutup
 Menjaga kesehatan lingkungan kerja.
 Pembuatan construction method yang aman .
 Penggunaan alat-alat pengangkat yang aman
 Pemasangan bangunan pengaman sementara.
 Melakukan pengawasan pelaksanaan CSH .
2. Tindakan penyelamatan berupa :
 Menyiapkan tenaga dan alat-alat khusus untuk di evakuasi.
 Menyiapkan poliklinik atau bekerjasama dengan rumah sakit terdekat.
 Mengevakuasi kejadian kecelakaan dan segera melakukan tindakan agar kecelakaan tidak meluas dan terkendali.
 Perencanaan evaluasi ditempat kerja yang rawan kecelakaan.

o Pelaksanaan safety, untuk tindakan pencegahan dapat dilakukan oleh setiap petugas yang terkait, tetapi untuk pengawasan serta tindakan penyelamatan harus ada petugas khusus. Oleh karena itu di dalam struktur organisasi kontraktor baik di lapangan maupun di kantor pusat harus ada petugas safety. Di lapangan petugas tersebut dapat disebut sebagai safety engineer, secara operasional di bawah kendali project manager dan secara fungsional di bawah safety manager.
o Ruang lingkup, ruang lingkup CSH meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
 Dalam perencanaan ada tiga mandat yang harus dipenuhi yaitu: perencanaan yang aman, pelaksanaan yang aman dan penggunaan yang aman. Dalam kegiatan perencanaan kegiatan yang dilakukan meliputi :
 Menyiapkan safety manual, termasuk pencegahan kebakaran dan peledakan.
 Membuat construction method yang aman.
 Membuat rencana bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu
 Membuat rincian peralatan keamanan dan perlindungan yang diperlukan
 Membuat rencana bangunan toilet untuk perkeja
 Membuat rencana pembuangan sampah khususnya sampah dari bangunan atas
 Membuat rencana evakuasi kemungkinan terjadinya accident.
 Pelaksanaan, meliputi :
 Menyiapkan alat-alat pelindung diri untuk dipakai setiap pekerja
 Membuat bangunan-bangunan pengaman termasuk rambu-rambu , alat pemadam kebakaran dan lain-lain
 Membuat bangunan toilet untuk pekerja
 Membuat tempat pembuangan sampah yang bergerak ke atas mengikuti perkembangan pekerjaan
 Melakukan koordinasi denganb kegiatan pelakasanaan bangunan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan
 Melakukan evakuasi dan pengamanan jika terjadi accident
 Pengawasan meliputi :
 Kegiatan input
 Kegiatan proses
 Kegiatan output

Edward J. Jeselskis, menyampaikan ada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menilai keberhasilan pelaksanaan program CSH pada sebuah proyek yaitu :
o Perilaku manajemen atas
o Perputaran tim manajemen proyek
o Waktu yang diberikan untuk program CSH oleh perwakilan lapangannya
o Jumlah pertemuan dengan pelaksana.
o Kontraktor spesialis
o Inspeksi lapangan oleh tim CSH
o Kemahiran pekerja dalam pelaksanaan CSH


9.6. KUALIFIKASI KESELAMATAN DAN KEHATI-HATIAN KONTRAKTOR

Sebelum tender persiapan yang perlu dilakukan, safety engineer mengembangkan kriteria untuk unjuk kerja keselamatan dengan rincian sebagai berikut :
o Kontraktor menyampaikan pengalaman tentang cacat dan kerusakan yang terjadi selama pengalaman 5 tahun terakhir yaitu tentang :
 Bahaya
 Cacat
 Waktu hilang
 Biaya medis dan kompensasi
 Penjelasan rinci dan kejadian
 Peralatan berbahaya atau fasilitas yang termasuk di dalamnya
 Pengukuran keseluruhan penanggulangan bahaya
o Tingkat modifikasi pengalaman ( Experience Modification Rate / EMR ) kontraktor untuk kompensasi pekerja
o Program dan tulisan kebijakan keselamatan dari kontraktor
o Referensi dari pihak lain yang melakukan evaluasi terhadap unjuk kerja kontraktor tentang program keselamatannya
o Rekaman pengalaman kontraktor sebelum mendapatkan penghargaan Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
o Jika mungkin informasi dari kontraktor sebagai pemakaian metode dan peralatan dalam praktek pembangunan.


RANGKUMAN

Perbedaan yang mendasar antara program K3 dengan program CSH adalah pada penekanan kegiatan, yaitu untuk program K3 lebih berorientasi pada keselamatan pekerja atau faktor manusia, sedangkan program CSH berpijak pada faktor manusia dan faktor ekonomi . Sehingga program CSH terlihat lebih proporsional dan lebih realistis.
Dalam hal biaya keselamatan, variabel-variabelnya hampir sama dengan konsep K3, dimana dalam CSH memakai istilah direct cost of safety dan indirect cost of safety yang semuanya dibagi dalam inspection cost (biaya inspeksi), prevention cost (biaya pencegahan) dan accident cost (biaya kecelakaan) .


LATIHAN

1.Jelaskan bagaimana konsep program CSH, bila dibandingkan dengan konsep program K3?
2. Jelaskan apa yang saudara ketahui dengan biaya keselamatan?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menjadi sumber bahaya dan kecelakaan?

safety

BAB I

PENDAHULUAN


TUJUAN

Tujuan dari bab ini adalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia, perkembangan dunia konstruksi dan aspek-aspek ketenaga kerjaan dalam industri konstruksi.

Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan mampu untuk :
Menjelaskan latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia.
Menjelaskan perkembangan dunia konstruksi dan permasalahannya .
Menjelaskan keselamatan kerja yang efektif dalam dunia industri konstruksi.


1.1. LATAR BELAKANG HISTORIS

Perkembangan sejarah tenaga kerja di Indonesia sudah berjalan panjang, sepanjang sejarah bangsa ini ada, yaitu masih terpecah-pecah dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil dengan berbagai karakter budaya dan kelompok etnisnya masing-masing. Sejarah ini berlanjut dengan masa penjajahan Belanda yang berumur ± 350 tahun dan dilanjutkan dengan masa penjajahan Bangsa Jepang selama ± 3,5 tahun, masa orde lama ± 20 tahun, dan masa orde baru ± 32 tahun. Masa yang begitu panjang ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga kerja sesuai dengan harapan tenaga kerja Indonesia dan sekaligus impian agar dapat sejajar dengan tenaga kerja yang ada di negara-negara Asean ataupun Asia atau bahkan dunia.

Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah ternyata belum mampu mengangkat tingkat kesejahteraan tenaga kerja, sehingga tenaga kerja Indonesia sangat terpuruk dalam hal kualitas hidup sehingga tidak mampu berkembang secara wajar. Sebagai perbandingan tenaga kerja Indonesia yang baru lulus STM (Sekolah Teknologi Menengah) jurusan Elektro, jika mereka bekerja di dalam negeri gaji pertama yang akan mereka terima paling besar antara Rp. 600.000,00 sampai dengan Rp 700.000,00 per bulan dengan fasilitas tambahan yang sangat terbatas dan jam kerja yang panjang. Sementara tenaga kerja dengan kualifikasi yang sama ditambah dengan pelatihan selama dua minggu. Mereka jika bekerja di Korea sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pada saat masuk pertama kali selama tiga bulan mendapat gaji bersih sebesar Rp. 5.000.000,00 sampai Rp. 7.000.000,00 per bulan. Walaupun untuk dapat bekerja di Korea mereka harus mengeluarkan dana sebesar Rp. 15.000.000,0 sampai Rp. 18.000.000,00 sebagai dana persiapan untuk pelatihan dan keberangkatan mereka ke Korea. Penghargaan yang sangat berbeda ini secara lebih jauh perlu diteliti, mengapa penghargaan terhadap tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri demikian kecil, sementara diluar negeri mereka mendapat penghargaan yang lebih baik.

Maraknya penanaman modal baik oleh PMA maupun PMDN, seharusnya dapat berdampak yang lebih baik kepada tenaga kerja Indonesia, sebab dengan demikian lapangan kerja yang tersedia akan semakin banyak. Tetapi hal ini tidak diikuti oleh penghargaan dan gaji yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja. Gaji selalu dikaitkan dengan kebutuhan fisik mininum (KFM), sehingga gaji minimum yang diberikan kepada tenaga kerja Indonesia didasarkan kepada upah minimum regional (UMR). Dan hal ini menjadi salah satu nilai jual oleh pemerintah kepada PMA atau PMDN bahwa upah tenaga kerja Indonesia sangat kompetitif (murah). Untuk mengenal secara lebih dekat dengan TKI (tenaga kerja Indonesia) ini, maka sebaiknya kita melihat kebelakang mengenai perkembangan TKI dari waktu ke waktu.


1.1.1. PERBUDAKAN

Pada zaman perbudakan ini, orang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain, yaitu para budak yang tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya. Yang mereka miliki hanyalah kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban mengikuti segala perintah, mengikuti semua petunjuk dan aturan dari pihak pemilik budak. Pemilik budak ini adalah satu-satunya pihak dalam hubungan antara pekerja dan pemberi pekerjaan yang mempunyai segala hak seperti hak minta pekerjaan, hak mengatur pekerjaan, hak memberi perintah, dan semua hak lainnya. Pemeliharaan budak dilakukan dengan memberikan para budak berupa pemondokan dan makan, bukan merupakan kewajiban bagi pemilik budak melainkan kebijaksanaan yang timbul dari keluhuran budi, walaupun kebanyakan terdorong oleh kepentingan pribadi berupa tidak kehilangan pekerjaan yang bermanfaat baginya. Pemeliharaan para budak bukan merupakan kewajiban pemilik budak, karena baik sosiologis maupun yuridis tidak ada aturan yang menetapkan demikian.

Gambaran yang disajikan diatas merupakan tinjauan secara yuridis mengenai perburuhan di zaman perbudakan. Menurut kepustakaan, kedudukan para budak di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain dahulu, adalah agak lumayan, berkat aturan tata susila masyarakat Indonesia yang tidak sekejam seperti negara lain itu. Sebagai bukti bahwa praktek perlakuan terhadap para Budak sangat mengerikan, ialah pemerintah Hindia Belanda dahulu mulai ikut mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817, tidak mengutik-utik hubungan antara budak dengan pemiliknya, tetapi hanya mengadakan larangan memasukkan budak ke Pulau Jawa, yang berarti membatasi bertambahnya budak lain dari pada kelahiran. Juga peraturan-peraturan berikutnya seperti :
1 Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1819.
2 Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak dari tahun 1820.
3 Peraturan tentang larangan mengangkat budak yang masih kanak-kanak dari tahun 1829.
4 Peraturan tentang pendaftaran anak budak darii tahun 1833.
5 Peraturan tentang penggantian nama para budak dari tahun 1834.
6 Peraturan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan budak dari tahun 1848.

Semuanya tidak menyinggung adanya nasib yang menyedihkan para budak sehingga memerlukan campur tangan dari pihak penguasa. Memang benar bahwa peraturan tentang budak dari tahun 1825 mengandung maksud meringankan nasib budak, dalam peraturan tersebut antara lain ditetapkan :
Barang siapa yang dipandang sebagai budak.
Membatasi bertambahnya jumlah budak lain dari pada kelahiran.
Melarang perdagangan budak dan mendatangkannya dari luar.
Menjaga agar anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-sama yaitu seorang budak yang telah kawin tidak boleh dipisahkan dari istri dan anaknya.
Memungkinkan pembebasan budak, misalnya seorang budak yang pernah mengikuti pemiliknya ke benua lain, menjadi merdeka sepulangnya kembali.
Seorang budak yang menolong tuannya atau anak tuannya dari bahaya maut, menjadi merdeka.
Mengatur kewajiban dan tindakan pada pemilik terhadap para budak mereka, misalnya para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka dan mengurus mereka dengan seksama.
Mengatur kewajiban para budak yaitu, para budak tidak boleh meninggalkan pekerjaan mereka, tidak boleh menolak pekerjaan yang layak.
Pelanggaran diancam dengan pidana pukulan rotan sebanyak-banyaknya 30 kali atau pidana penjara selama-lamanya 14 hari.
Pelarian diancam dengan perantaian untuk pertama kali tidak boleh lebih lama dari enam bulan dan sebagai ulangan tidak lebih lama dari dua tahun.

Persoalan hubungan antara budak dengan pemiliknya itu memang tidak terletak pada baik atau buruknya perlakuan para pemilik, sehingga persoalan juga tidak terletak pada mengadakan peraturan yang baik mengenai hubungan itu tetapi terletak pada hakekat perbudakan itu sendiri. Satu-satunya penyelesaian ialah mendudukkan para budak itu pada kedudukan manusia merdeka, baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Usaha tidak resmi seperti dari Java Benevolent Institution dari zaman pemerintahan Thomas Stamford Raffles, antara tahun 1818 dan 1824 untuk menjuruskan semua peraturan mengenai perbudakan akhirnya penghapusan perbudakan tidak membawa hasil. Pihak yang berpendirian bahwa penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran besar terhadap hak para pemilik budak, masih berkuasa memaksa pihak lainnya yang berpendapat bahwa adalah kezaliman yang lebih besar terhadap kemanusiaan merendahkan manusia menjadi barang milik.

Baru pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai 117 yang kemudian menjadi pasal 169 dan 171 Indische Staatsregeling 1926, dengan tegas ditetapkan paling lambat pada tanggal 1 Januari 1860 perbudakan diseluruh Indonesia dihapuskan dan selanjutnya memerintahkan suipaya diadakan peraturan-peraturan persiapan dan pelaksanaan secara setingkat demi setingkat mengenai penghapusan ini serta uang ganti rugi sebagai akibat sebagai penghapusan itu. Kemenangan orde kemanusiaan atau orde keadilan dan kebenaran merupakan kemenangan formal atas orde kezaliman, sebab nyatanya proses penghapusan perbudakan itu memerlukan waktu yang sangat panjang. Jika laporan kolonial tahun 1922 adalah yang terakhir memuat sesuatu mengenai perbudakan, sehingga baru sesudah tahun 1922 itu dapat dikatakan bahwa Indonesia resminya tidak terdapat perbudakan lagi. Untuk itu perlu waktu lebih dari enam puluh tahun, lebih dari satu generasi. Mungkin perbudakan badaniah (fisik) di pusat-pusat pemerintahan itu nyatanya tidak diketahui. Kalau pada tahun 1948 masih diberitakan adanya perbudakan di pedalaman Kalimantan, tidak mustahil kalau di daerah-daerah lain juga masih ada walaupun mungkin secara terpendam.

Bagaimanapun juga pada tahun-tahun 1960 an masih diberitakan adanya perbudakan mental yaitu di pihak yang satu yang pernah berkuasa dan masih berkuasa, ingin tetap memberi perintah saja dan pihak lainnya yang pernah diperintah dan selalu diperintah, memandang tunduk dan menuruti secara mutlak sebagai soal yang wajar.


1.1.2. PEKERJAAN RODI

Selain bentuk kerja perbudakan, sebagai digambarkan sebelumnya, sejak dulu kala dari para anggota suku atau anggota desa dimintakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk kepentingan mereka bersama dan untuk suku atau desa sebagai kesatuan. Di mana terdapat kerajaan dilakukan pula pekerjaan untuk keperluan kerajaan itu atau untuk keperluan raja.
Pekerjaan yang mula-mula merupakan pembagian pekerjaan antara sesama anggota untuk keperluan dan kepentingan bersama (gotong royong), karena perbagai keadaan dan alasan berkembang menjadi kerja paksa umtuk kepentingan seseorang atau pihak lain dengan tiada bayaran atau upah. Jika pekerjaan untuk suku atau desa ditujukan untuk membantu:
1 Penyelenggaraan keramaian.
2 Pemeliharaan bengkok.
3 Membantu rumah tangga kepala suku atau desa.
4 Pekerjaan untuk kepentingan kompeni atau gubernur dan pembesar-pembesarnya adalah semata-mata kerja paksa atau rodi.

Kerajaan-kerajaan di Jawa, kerja rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dsb.
Kompeni pandai menggunakan kerja rodi ini untuk kepentingannya sendiri. Rodi digunakannya untuk segala macam keperluan sendiri mendirikan benteng, pabrik, jalan, dan sebagainya, untuk pengangkutan barang. Hendrik Willem Daendels (1807-1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat jalan dari Anyer sampai Banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati akibat kerja rodi ini tidak terbilang. Thomas Stamford Raffles yang dalam tahun 1813 telah memproklamirkan penghapusan rodi, tidak sempat melaksanakan penghapusan tersebut Setelah Indonesia dikembalikan kepada Nederland (1816), rodi diperhebat untuk kepentingan gubernemen.
Kerja rodi dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu :
1 Rodi gubernamen yaitu untuk kepentingan gubernemen dan para pegawainya (herendienst).
2 Rodi perorangan yaitu rodi untuk kepentingan kepala-kepala dan pembesar-pembesar Indonesia (persoonlijke diensten).
3 Rodi desa yaitu rodi untuk kepentingan desa (desa diensten).
4 Rodi gubernemen dilakukan tampa bayaran dan dimintakan untuk memenuhi segala keperluan gubernemen dan keperluan pegawai-pegawainya. Disini terlihat beratnya rodi itu melebihi perbudakan. Kalau pemeliharaan budak berupa pemondokan, sandang dan pangan menjadi tanggung jawab pemilik budak, dalam rodi pemeliharaan para pekerja dipikul oleh pekerja rodi sendiri. Rodi gubernemen dan rodi perorangan merupakan beban yang berat bagi penduduk, bahkan mengekang kebebasannya untuk bertindak dan berbuat menurut kepentingannya sendiri. Baru pada tahun 1880-an kepada penduduk diberikesempatan untuk membebaskan diri dari kekangan itu dengan membayar pajak tertentu (hoodfdgeld). Proses hapusnya rodi itu juga memakan waktu yang lama yaitu baru pada tanggal 1 Februari 1938 pekerjaan rodi dihapuskan. Di tanah partikelir disebelah barat kali Cimanuk bahkan baru dihapuskan tahun 1946 oleh Commanding Officer Allied Military Administration Civil Affairs Branch (COAMACAB).
Kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang-orang lain dalam perjalanan ketentaraan (mars), dimana rakyat yaitu – semua lapisan rakyat – wajib menerima bayaran, melakukan pekerjaan pengangkutan dan menyediakan alat-alat pengangkutan, tidak dapat dipandang sebagai pekerjaan rodi. Kompensasi dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) nomor 29 mengenai kerja paksa atau kerja wajib mengatakan, bahwa kerja paksa atau kerja wajib adalah any work or service exacted in virtue of compulsory military service laws for work of a purely military character. Pekerjaan untuk keperluan ketentaraan tersebut hanya dimintakan dari laki-laki untuk siapa pekerjaan itu dapat dipandang sebagai luar biasa.
Pekerjaan rodi untuk keperluan desa, marga dan sebagainya diserahkan seluruhnya kepada desa, marga yang bersangkutan. Mengenai rodi desa ini pada umumnya diartikan pekerjaan wajib untuk keperluan desa. Karena itu menurut pandangan umum (1942) rodi desa bukanlah rodi untuk perorangan (persoonlijke diensten). Konvensi dari Organisasi Perburuhan Internasional nomor 29 tersebut diatas, tidak memandang sebagai kerja paksa atau kerja wajib yang terlarang (Minor communal service of kind, which being performed by the members of the community in the direct interest of the said community, can therefore be considered as normal civic obligation incumbent upon the member of the community or their direct representatives shall have the right to be consulted in regard to the need of such services).
Tidak memenuhi kewajiban melakukan pekerja an rodi desa diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah. Jika pelanggaran ini diulangi dalam waktu enam bulan, dapat dijatuhi pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan (KUH Pidana pasal 523).


1.1.3. PUNALE SANKSI

Perburuhan biasa, yaitu dimana pekerjaan dilakukan oleh buruh biasa untuk dan di bawah pimpinan seorang majikan dapat menerima upah disana-sini sudah ada tetapi tidak dapat meluas. Sebab walaupun sampai 1839 oleh gubernemen dipersewakan berbagai bidang tanah kepada orang-orang swasta bukan Indonesia, di antara 1830 sampai 1870 adalah gubernemen yang menjadi pengusaha terpenting, dan gubernemen ini menggunakan pekerja rodi sebanyak-banyaknya.
Mengenai perburuhan biasa ini peraturan yang pertama-tama dikeluarkan pada tahun 1819, mengharuskan supaya semua perjanjian kerja didaftar oleh residen sebelum didaftar para residen ini harus menyelidiki apakah pada waktu perjanjian kerja itu dibuat tidak dilakukan paksaan dan apakah syarat-syarat kerjanya cukup layak.
Pada tahun 1838 peraturan itu ditarik kembali dan diganti dengan yang baru dengan maksud untuk mempermudah gubernemen sebagai pengusaha perkebunan dalam mendapatkan buruh yang diperlukan. Pengusaha dibolehkan mengadakan perjanjian kerja dengan kepala desa untuk mendapatkan buruh. Perjanjian ini harus didaftarkan dan berlaku untuk selama lamanya lima tahun. Dalam perjanjian ini harus dimuat besarnya upah, makan dan perumahan serta macam pekerjaan yang harus dilakukan. Dalam menetapkan jumlah hari kerja harus diperhatikan waktu yang diperlukan buruh untuk mengolah sawah dan pekerjaan lain. (cultuurstelsel). Dengan dihapuskannya cultuurstelsel, peraturan dari tahun 1938 itu diubah dengan peraturan 1863, perjanjian dengan kepala desa tidak diperbolehkan lagi.
Dengan diadakannya Agrarische (Undang-Undang Agraria) tahun 1870 yang mendorong timbulnya peraturan perusahaan perkebunan swasta besar, soal perburuhan menjadi sangat penting bagi para pengusaha ini. Untuk menjamin perusahaan mendapat buruh yang tetap melakukan pekerjaannya, maka Algemene Politie Strafreglement ditambahkan ketentuan (stbl 1872 nomor 111) yang menetapkan bahwa buruh yang tidak dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaannya, dapat di- pidana dengan denda antara Rp. 16,00 dan Rp 25,00 atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari.
Baik diluar maupun di dalam Staten Generaal di Nederland aturan punale sanksi itu yang memberikan kedudukan unggul diluar batas kepada pengusaha dan membuka pintu penyalahgunaan, mendapat kecaman cukup pedas, sehingga pada tahun 1879 di cabut kembali. Parlemen yang mengusahakan pencabutan itu menyadari juga bahwa untuk daerah di mana tidak terdapat buruh, perlu diberikan kesempatan yang layak kepada para pengusaha untuk tidak menyia-nyiakan biaya yang sudah dikeluarkan guna mendatangkan buruh itu. Karena itu Parlemen yang berpendirian bahwa pada azasnya seorang buruh Indonesia bila menyalahi perjanjian kerjanya tidak seharusnya dipidana, memang perlu sebagai pengecualian terhadap azas tersebut adanya peraturan tersendiri bagi daerah perkebunan di Sumatera Timur. Pada tahun 1880 lahirlah peraturan semacam itu yang pertama yang biasa disebut koeli-ordonnantie (kuli ordonansi) untuk Sumatera Timur, dan disusul untuk daerah-daerah lain.
Parlemen Belanda tidak dapat membebaskan dirinya dari dalil bahwa azas kadang-kadang atau acap kali harus menyingkir atau disingkirkan bila ada kepentingan tertentu. Hakekat punale sanksi ini sebetulnya tidak semata-mata pada dana denda antara Rp 16,00 sampai dengan Rp 26,00. Sebab dalam perjanjian atau peraturan majikan dapat pula ditetapkan suatu denda tertentu bila pihak buruh menyalahi isi perjanjian kerja. Yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kemungkinan diangkutnya buruh kembali ketempat pe- kerjaan untuk melakukan pekerjaan. Paksaan untuk melakukan sendiri segala sesuatu yang tadinya tidak dipenuhi, merupakan pelanggaran atas azas hukum bahwa orang yang tidak memenuhi kewajibannya harus bertanggung jawab hanya dengan kekayaannya tidak dengan paksaan melakukan sendiri. Punale sanksi ini memberikan kepada pengusaha kekuasaan terhadap buruhnya yang dapat menimbulkan perlakuan tidak baik dan keadaan perburuhan yang buruk, jika pemimpin perusahaan dan pembantu-pembantunya tidak tercegah untuk menyelewengkan dari jalan yang lurus oleh budi dan moral yang tinggi serta pendapaqt umum yang kuat dan pengawasan yang keras. Justru pada waktu itu tidak terdapat pendapat umum yang kuat dan pengawasan yang keras.

Penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1903 membuktikan adanya keadaan perburuhan yang sangat menyedihkan berupa :
Pemerasan tenaga buruh.
Penganiayaan buruh.
Pengawasan yang berpihak pada majikan.
Penyalahgunaan kekuasaan dan pengadilan. Dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu pada tahun 1904 di Sumatera Timur diadakan instansi pengawasan perburuhan (arbeids inspectie) sendiri. Tetapi instansi penga-wasan perburuhan dan pengawasannya yang keras pun tidak dapat mencegah ketidak adilan itu sendiri, karena justru ketidak adilan tersebut disahkan dengan peraturan-peraturan kuli ordonansi. Satu-satunya jalan ialah mencabut kembali peraturan-peraturan kuli ordonansi tersebut. Pencabutan dilakukan pada tahun 1941 dan mulai tanggal 1 Januari 1942 punale sanksi lenyap dari dunia perburuhan diperkebunan Indonesia.
Dari riwayat perburuhan dan ketenagakerjaan ini dapat dilihat bahwa perjuangan dalam perburuhan dan ketenagakerjaan sampai pada permulaan kemerdekaan Indonesia, baru mencapai usaha membebaskan buruh dari kekangan pihak majikan yang tidak wajar yaitu :
Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi dan kerja paksa.
Membebaskan buruh Indonesia dari punale sanksi.

Sedangkan tugas berikutnya yang masih belum tercapai adalah :
Membebaskan buruh dari ketakutan kehilangan pekerjaan secara semena-mena.
Memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomi yang seimbang.
Merupakan usaha yang pada umumnya masih harus terus diupayakan dan dikerjakan oleh buruh dan tenaga kerja Indonesia.


1.1.4. PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

Pada saat ini Negara Indonesia sudah tidak mengizinkan suatu perusahaan atau perorangan melakukan kerja paksa terhadap seorang pekerja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional), nomor 105 menyatakan bahwa Negara anggota ILO telah memutuskan tentang penerimaan usulan yang menyangkut penghapusan bentuk-bentuk tertentu dari kerja paksa atau kerja wajib yang merupakan pelanggaran hak manusia sebagaimana tertera dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia. Dan memutuskan bahwa usulan-usulan ini harus berbentuk Konvensi Internasional. Menerima pada tanggal 5 Juni tahun 1957 Konvensi nomor 105, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penghapusan Kerja Paksa seperti tersirat pada pasal 1 yaitu :
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan menggunakan kerja paksa dalam bentuk apapun .
a) Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pernyataan pandangan politik atau secara ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial dan ekonomi yang sah.
b) Sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk maksud pembangunan ekonomi.
c) Sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja.
d) Sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan.
e)Sebagai pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial, bangsa dan agama.
Juga pasal 2 Konvensi nomor 105 ILO ini menegaskan pada tiap anggotanya sebagai berikut : Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib mengambil tindakan efektif untuk menjamin penghapusan segera dan sepenuhnya atas kerja paksa atau kerja wajib sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Konvensi ini.


1.2. INDUSTRI KONSTRUKSI

Industri konstruksi dalam banyak segi memperlihatkan suatu gejala yang paradoksal, di Amerika Serikat industri konstruksi meliputi 10 % dari produk nasional bruto atau sekitar atau sekitar US $ 200 milyar, termasuk sektor industri terbesar. Tenaga kerja yang bekerja dalam sektor ini mencapai 9 % sampai 12 % dari seluruh tenaga kerja nasional, bahkan dapat mencapai 20 % dari seluruh tenaga kerja nasional.
Proyek konstruksi dapat dibagi dalam beberapa tipe yaitu :
o Konstruksi pemukiman (Residential Construction)
o Konstruksi gedung (Building Construction)
o Konstruksi rekayasa berat (Heavy Engineering Construction)
o Konstruksi industri (Industrial Construction)

Proyek konstruksi perlu ditangani secara sistematis, sebab proyek merupakan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan tertentu, kompleksitas, bersifat unik, tidak biasa, banyak resiko, tidak permanent dan siklus hidup dari beberapa kegiatan. Untuk memudahkan penanganan proyek konstruksi, biasanya dipimpin oleh seorang proyek manajer (PM) yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk mengimplementasikan dan menyelesaikan proyek tersebut.
Untuk mengimplementasikan dan menyelesaikan proyek diperlukan berbagai macam sumber daya yang dapat diwujudkan dalam bentuk biaya seperti :
o Biaya pembelian material dan peralatan.
o Biaya penyewaan atau pembelian peralatan konstruksi.
o Upah tenaga kerja.
o Biaya sub kontraktor.
o Biaya transportasi.
o Overhead dan administrasi.
o Fee / laba dan kontingensi

Dalam melaksanakan proyek PM tidak dapat bekerja sendiri, tetapi bekerja dalam bentuk satu tim yang terdiri dari berbagai keahlian dan ketrampilan. Agar proyek konstruksi dapat dilaksanakan dengan selamat, maka PM harus mampu untuk membuat pekerjaan dengan manajemen keselamaatan (Safety Management) yang menerapkan ukuran keselamatan sebelum terjadinya kecelakaan. Manajemen keselamatan yang efektif mempunyai tiga tujuan utama yaitu :
o Untuk membuat lingkungan kerja aman.
o Untuk membuat pekerjaan aman.
o Untuk membuat perasaan aman bagi pekerja.


RANGKUMAN

Sejarah perkembangan tenaga kerja di Indonesia diawali dengan perbudakan, punale sanksi, dan rodi yang terjadi selama masa penjajahan. Setelah era kemerdekaan masalah perbudakan, punale sanksi dan rodi sudah tidak ada lagi. Hal ini diperkuat dengan adanya Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
Industri konstruksi mempunyai empat bentuk proyek yaitu proyek pemukiman, bangunan gedung, bangunan industri, dan bangunan rekayasa berat. Dalam proses pembangunan pada industri faktor yang berhubungan dengan tenaga kerja sangat terkait dengan masalah lingkungan kerja aman, membuat pekerjaan aman dan membuat perasaan aman bagi pekerja.


LATIHAN

1.Jelaskan latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia ?
2.Apa yang dimaksud dengan pengertian di bawah ini, jelaskan !
a.Perbudakan
b.Kerja rodi
c.Punale sanksi
3.Jelaskan mengenai undang-undang penghapusan kerja paksa yang sudah di ratifikasi oleh negara Indonesia dari Konvensi ILO nomor 105 tsb ?
4.Jelaskan mengenai industri konstruksi dan permasalahannya ?
5.Jelaskan mengenai manajemen keselamatan kerja yang efektif dalam industri konstruksi
BAB I

PENDAHULUAN


TUJUAN

Tujuan dari bab ini adalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia, perkembangan dunia konstruksi dan aspek-aspek ketenaga kerjaan dalam industri konstruksi.

Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan mampu untuk :
o Menjelaskan latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia.
o Menjelaskan perkembangan dunia konstruksi dan permasalahannya .
o Menjelaskan keselamatan kerja yang efektif dalam dunia industri konstruksi.


1.1. LATAR BELAKANG HISTORIS

Perkembangan sejarah tenaga kerja di Indonesia sudah berjalan panjang, sepanjang sejarah bangsa ini ada, yaitu masih terpecah-pecah dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil dengan berbagai karakter budaya dan kelompok etnisnya masing-masing. Sejarah ini berlanjut dengan masa penjajahan Belanda yang berumur ± 350 tahun dan dilanjutkan dengan masa penjajahan Bangsa Jepang selama ± 3,5 tahun, masa orde lama ± 20 tahun, dan masa orde baru ± 32 tahun. Masa yang begitu panjang ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga kerja sesuai dengan harapan tenaga kerja Indonesia dan sekaligus impian agar dapat sejajar dengan tenaga kerja yang ada di negara-negara Asean ataupun Asia atau bahkan dunia.

Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah ternyata belum mampu mengangkat tingkat kesejahteraan tenaga kerja, sehingga tenaga kerja Indonesia sangat terpuruk dalam hal kualitas hidup sehingga tidak mampu berkembang secara wajar. Sebagai perbandingan tenaga kerja Indonesia yang baru lulus STM (Sekolah Teknologi Menengah) jurusan Elektro, jika mereka bekerja di dalam negeri gaji pertama yang akan mereka terima paling besar antara Rp. 600.000,00 sampai dengan Rp 700.000,00 per bulan dengan fasilitas tambahan yang sangat terbatas dan jam kerja yang panjang. Sementara tenaga kerja dengan kualifikasi yang sama ditambah dengan pelatihan selama dua minggu. Mereka jika bekerja di Korea sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pada saat masuk pertama kali selama tiga bulan mendapat gaji bersih sebesar Rp. 5.000.000,00 sampai Rp. 7.000.000,00 per bulan. Walaupun untuk dapat bekerja di Korea mereka harus mengeluarkan dana sebesar Rp. 15.000.000,0 sampai Rp. 18.000.000,00 sebagai dana persiapan untuk pelatihan dan keberangkatan mereka ke Korea. Penghargaan yang sangat berbeda ini secara lebih jauh perlu diteliti, mengapa penghargaan terhadap tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri demikian kecil, sementara diluar negeri mereka mendapat penghargaan yang lebih baik.

Maraknya penanaman modal baik oleh PMA maupun PMDN, seharusnya dapat berdampak yang lebih baik kepada tenaga kerja Indonesia, sebab dengan demikian lapangan kerja yang tersedia akan semakin banyak. Tetapi hal ini tidak diikuti oleh penghargaan dan gaji yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja. Gaji selalu dikaitkan dengan kebutuhan fisik mininum (KFM), sehingga gaji minimum yang diberikan kepada tenaga kerja Indonesia didasarkan kepada upah minimum regional (UMR). Dan hal ini menjadi salah satu nilai jual oleh pemerintah kepada PMA atau PMDN bahwa upah tenaga kerja Indonesia sangat kompetitif (murah). Untuk mengenal secara lebih dekat dengan TKI (tenaga kerja Indonesia) ini, maka sebaiknya kita melihat kebelakang mengenai perkembangan TKI dari waktu ke waktu.


1.1.1. PERBUDAKAN

Pada zaman perbudakan ini, orang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain, yaitu para budak yang tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya. Yang mereka miliki hanyalah kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban mengikuti segala perintah, mengikuti semua petunjuk dan aturan dari pihak pemilik budak. Pemilik budak ini adalah satu-satunya pihak dalam hubungan antara pekerja dan pemberi pekerjaan yang mempunyai segala hak seperti hak minta pekerjaan, hak mengatur pekerjaan, hak memberi perintah, dan semua hak lainnya. Pemeliharaan budak dilakukan dengan memberikan para budak berupa pemondokan dan makan, bukan merupakan kewajiban bagi pemilik budak melainkan kebijaksanaan yang timbul dari keluhuran budi, walaupun kebanyakan terdorong oleh kepentingan pribadi berupa tidak kehilangan pekerjaan yang bermanfaat baginya. Pemeliharaan para budak bukan merupakan kewajiban pemilik budak, karena baik sosiologis maupun yuridis tidak ada aturan yang menetapkan demikian.

Gambaran yang disajikan diatas merupakan tinjauan secara yuridis mengenai perburuhan di zaman perbudakan. Menurut kepustakaan, kedudukan para budak di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain dahulu, adalah agak lumayan, berkat aturan tata susila masyarakat Indonesia yang tidak sekejam seperti negara lain itu. Sebagai bukti bahwa praktek perlakuan terhadap para Budak sangat mengerikan, ialah pemerintah Hindia Belanda dahulu mulai ikut mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817, tidak mengutik-utik hubungan antara budak dengan pemiliknya, tetapi hanya mengadakan larangan memasukkan budak ke Pulau Jawa, yang berarti membatasi bertambahnya budak lain dari pada kelahiran. Juga peraturan-peraturan berikutnya seperti :
Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1819.
Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak dari tahun 1820.
Peraturan tentang larangan mengangkat budak yang masih kanak-kanak dari tahun 1829.
Peraturan tentang pendaftaran anak budak darii tahun 1833.
Peraturan tentang penggantian nama para budak dari tahun 1834.
Peraturan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan budak dari tahun 1848.

Semuanya tidak menyinggung adanya nasib yang menyedihkan para budak sehingga memerlukan campur tangan dari pihak penguasa. Memang benar bahwa peraturan tentang budak dari tahun 1825 mengandung maksud meringankan nasib budak, dalam peraturan tersebut antara lain ditetapkan :
Barang siapa yang dipandang sebagai budak.
Membatasi bertambahnya jumlah budak lain dari pada kelahiran.
Melarang perdagangan budak dan mendatangkannya dari luar.
Menjaga agar anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-sama yaitu seorang budak yang telah kawin tidak boleh dipisahkan dari istri dan anaknya.
Memungkinkan pembebasan budak, misalnya seorang budak yang pernah mengikuti pemiliknya ke benua lain, menjadi merdeka sepulangnya kembali.
Seorang budak yang menolong tuannya atau anak tuannya dari bahaya maut, menjadi merdeka.
Mengatur kewajiban dan tindakan pada pemilik terhadap para budak mereka, misalnya para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka dan mengurus mereka dengan seksama.
Mengatur kewajiban para budak yaitu, para budak tidak boleh meninggalkan pekerjaan mereka, tidak boleh menolak pekerjaan yang layak.
Pelanggaran diancam dengan pidana pukulan rotan sebanyak-banyaknya 30 kali atau pidana penjara selama-lamanya 14 hari.
Pelarian diancam dengan perantaian untuk pertama kali tidak boleh lebih lama dari enam bulan dan sebagai ulangan tidak lebih lama dari dua tahun.

Persoalan hubungan antara budak dengan pemiliknya itu memang tidak terletak pada baik atau buruknya perlakuan para pemilik, sehingga persoalan juga tidak terletak pada mengadakan peraturan yang baik mengenai hubungan itu tetapi terletak pada hakekat perbudakan itu sendiri. Satu-satunya penyelesaian ialah mendudukkan para budak itu pada kedudukan manusia merdeka, baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Usaha tidak resmi seperti dari Java Benevolent Institution dari zaman pemerintahan Thomas Stamford Raffles, antara tahun 1818 dan 1824 untuk menjuruskan semua peraturan mengenai perbudakan akhirnya penghapusan perbudakan tidak membawa hasil. Pihak yang berpendirian bahwa penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran besar terhadap hak para pemilik budak, masih berkuasa memaksa pihak lainnya yang berpendapat bahwa adalah kezaliman yang lebih besar terhadap kemanusiaan merendahkan manusia menjadi barang milik.

Baru pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai 117 yang kemudian menjadi pasal 169 dan 171 Indische Staatsregeling 1926, dengan tegas ditetapkan paling lambat pada tanggal 1 Januari 1860 perbudakan diseluruh Indonesia dihapuskan dan selanjutnya memerintahkan suipaya diadakan peraturan-peraturan persiapan dan pelaksanaan secara setingkat demi setingkat mengenai penghapusan ini serta uang ganti rugi sebagai akibat sebagai penghapusan itu. Kemenangan orde kemanusiaan atau orde keadilan dan kebenaran merupakan kemenangan formal atas orde kezaliman, sebab nyatanya proses penghapusan perbudakan itu memerlukan waktu yang sangat panjang. Jika laporan kolonial tahun 1922 adalah yang terakhir memuat sesuatu mengenai perbudakan, sehingga baru sesudah tahun 1922 itu dapat dikatakan bahwa Indonesia resminya tidak terdapat perbudakan lagi. Untuk itu perlu waktu lebih dari enam puluh tahun, lebih dari satu generasi. Mungkin perbudakan badaniah (fisik) di pusat-pusat pemerintahan itu nyatanya tidak diketahui. Kalau pada tahun 1948 masih diberitakan adanya perbudakan di pedalaman Kalimantan, tidak mustahil kalau di daerah-daerah lain juga masih ada walaupun mungkin secara terpendam.

Bagaimanapun juga pada tahun-tahun 1960 an masih diberitakan adanya perbudakan mental yaitu di pihak yang satu yang pernah berkuasa dan masih berkuasa, ingin tetap memberi perintah saja dan pihak lainnya yang pernah diperintah dan selalu diperintah, memandang tunduk dan menuruti secara mutlak sebagai soal yang wajar.


1.1.2. PEKERJAAN RODI

Selain bentuk kerja perbudakan, sebagai digambarkan sebelumnya, sejak dulu kala dari para anggota suku atau anggota desa dimintakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk kepentingan mereka bersama dan untuk suku atau desa sebagai kesatuan. Di mana terdapat kerajaan dilakukan pula pekerjaan untuk keperluan kerajaan itu atau untuk keperluan raja.
Pekerjaan yang mula-mula merupakan pembagian pekerjaan antara sesama anggota untuk keperluan dan kepentingan bersama (gotong royong), karena perbagai keadaan dan alasan berkembang menjadi kerja paksa umtuk kepentingan seseorang atau pihak lain dengan tiada bayaran atau upah. Jika pekerjaan untuk suku atau desa ditujukan untuk membantu :
Penyelenggaraan keramaian.
Pemeliharaan bengkok.
Membantu rumah tangga kepala suku atau desa.
Pekerjaan untuk kepentingan kompeni atau gubernur dan pembesar-pembesarnya adalah semata-mata kerja paksa atau rodi.

Kerajaan-kerajaan di Jawa, kerja rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dsb.
Kompeni pandai menggunakan kerja rodi ini untuk kepentingannya sendiri. Rodi digunakannya untuk segala macam keperluan sendiri mendirikan benteng, pabrik, jalan, dan sebagainya, untuk pengangkutan barang. Hendrik Willem Daendels (1807-1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat jalan dari Anyer sampai Banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati akibat kerja rodi ini tidak terbilang. Thomas Stamford Raffles yang dalam tahun 1813 telah memproklamirkan penghapusan rodi, tidak sempat melaksanakan penghapusan tersebut Setelah Indonesia dikembalikan kepada Nederland (1816), rodi diperhebat untuk kepentingan gubernemen.
Kerja rodi dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu :
Rodi gubernamen yaitu untuk kepentingan gubernemen dan para pegawainya (herendienst).
Rodi perorangan yaitu rodi untuk kepentingan kepala-kepala dan pembesar-pembesar Indonesia (persoonlijke diensten).
Rodi desa yaitu rodi untuk kepentingan desa (desa diensten).
Rodi gubernemen dilakukan tampa bayaran dan dimintakan untuk memenuhi segala keperluan gubernemen dan keperluan pegawai-pegawainya. Disini terlihat beratnya rodi itu melebihi perbudakan. Kalau pemeliharaan budak berupa pemondokan, sandang dan pangan menjadi tanggung jawab pemilik budak, dalam rodi pemeliharaan para pekerja dipikul oleh pekerja rodi sendiri. Rodi gubernemen dan rodi perorangan merupakan beban yang berat bagi penduduk, bahkan mengekang kebebasannya untuk bertindak dan berbuat menurut kepentingannya sendiri. Baru pada tahun 1880-an kepada penduduk diberikesempatan untuk membebaskan diri dari kekangan itu dengan membayar pajak tertentu (hoodfdgeld). Proses hapusnya rodi itu juga memakan waktu yang lama yaitu baru pada tanggal 1 Februari 1938 pekerjaan rodi dihapuskan. Di tanah partikelir disebelah barat kali Cimanuk bahkan baru dihapuskan tahun 1946 oleh Commanding Officer Allied Military Administration Civil Affairs Branch (COAMACAB).
Kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang-orang lain dalam perjalanan ketentaraan (mars), dimana rakyat yaitu – semua lapisan rakyat – wajib menerima bayaran, melakukan pekerjaan pengangkutan dan menyediakan alat-alat pengangkutan, tidak dapat dipandang sebagai pekerjaan rodi. Kompensasi dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) nomor 29 mengenai kerja paksa atau kerja wajib mengatakan, bahwa kerja paksa atau kerja wajib adalah any work or service exacted in virtue of compulsory military service laws for work of a purely military character. Pekerjaan untuk keperluan ketentaraan tersebut hanya dimintakan dari laki-laki untuk siapa pekerjaan itu dapat dipandang sebagai luar biasa.
Pekerjaan rodi untuk keperluan desa, marga dan sebagainya diserahkan seluruhnya kepada desa, marga yang bersangkutan. Mengenai rodi desa ini pada umumnya diartikan pekerjaan wajib untuk keperluan desa. Karena itu menurut pandangan umum (1942) rodi desa bukanlah rodi untuk perorangan (persoonlijke diensten). Konvensi dari Organisasi Perburuhan Internasional nomor 29 tersebut diatas, tidak memandang sebagai kerja paksa atau kerja wajib yang terlarang (Minor communal service of kind, which being performed by the members of the community in the direct interest of the said community, can therefore be considered as normal civic obligation incumbent upon the member of the community or their direct representatives shall have the right to be consulted in regard to the need of such services).
Tidak memenuhi kewajiban melakukan pekerja an rodi desa diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah. Jika pelanggaran ini diulangi dalam waktu enam bulan, dapat dijatuhi pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan (KUH Pidana pasal 523).


1.1.3. PUNALE SANKSI

Perburuhan biasa, yaitu dimana pekerjaan dilakukan oleh buruh biasa untuk dan di bawah pimpinan seorang majikan dapat menerima upah disana-sini sudah ada tetapi tidak dapat meluas. Sebab walaupun sampai 1839 oleh gubernemen dipersewakan berbagai bidang tanah kepada orang-orang swasta bukan Indonesia, di antara 1830 sampai 1870 adalah gubernemen yang menjadi pengusaha terpenting, dan gubernemen ini menggunakan pekerja rodi sebanyak-banyaknya.
Mengenai perburuhan biasa ini peraturan yang pertama-tama dikeluarkan pada tahun 1819, mengharuskan supaya semua perjanjian kerja didaftar oleh residen sebelum didaftar para residen ini harus menyelidiki apakah pada waktu perjanjian kerja itu dibuat tidak dilakukan paksaan dan apakah syarat-syarat kerjanya cukup layak.
Pada tahun 1838 peraturan itu ditarik kembali dan diganti dengan yang baru dengan maksud untuk mempermudah gubernemen sebagai pengusaha perkebunan dalam mendapatkan buruh yang diperlukan. Pengusaha dibolehkan mengadakan perjanjian kerja dengan kepala desa untuk mendapatkan buruh. Perjanjian ini harus didaftarkan dan berlaku untuk selama lamanya lima tahun. Dalam perjanjian ini harus dimuat besarnya upah, makan dan perumahan serta macam pekerjaan yang harus dilakukan. Dalam menetapkan jumlah hari kerja harus diperhatikan waktu yang diperlukan buruh untuk mengolah sawah dan pekerjaan lain. (cultuurstelsel). Dengan dihapuskannya cultuurstelsel, peraturan dari tahun 1938 itu diubah dengan peraturan 1863, perjanjian dengan kepala desa tidak diperbolehkan lagi.
Dengan diadakannya Agrarische (Undang-Undang Agraria) tahun 1870 yang mendorong timbulnya peraturan perusahaan perkebunan swasta besar, soal perburuhan menjadi sangat penting bagi para pengusaha ini. Untuk menjamin perusahaan mendapat buruh yang tetap melakukan pekerjaannya, maka Algemene Politie Strafreglement ditambahkan ketentuan (stbl 1872 nomor 111) yang menetapkan bahwa buruh yang tidak dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaannya, dapat di- pidana dengan denda antara Rp. 16,00 dan Rp 25,00 atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari.
Baik diluar maupun di dalam Staten Generaal di Nederland aturan punale sanksi itu yang memberikan kedudukan unggul diluar batas kepada pengusaha dan membuka pintu penyalahgunaan, mendapat kecaman cukup pedas, sehingga pada tahun 1879 di cabut kembali. Parlemen yang mengusahakan pencabutan itu menyadari juga bahwa untuk daerah di mana tidak terdapat buruh, perlu diberikan kesempatan yang layak kepada para pengusaha untuk tidak menyia-nyiakan biaya yang sudah dikeluarkan guna mendatangkan buruh itu. Karena itu Parlemen yang berpendirian bahwa pada azasnya seorang buruh Indonesia bila menyalahi perjanjian kerjanya tidak seharusnya dipidana, memang perlu sebagai pengecualian terhadap azas tersebut adanya peraturan tersendiri bagi daerah perkebunan di Sumatera Timur. Pada tahun 1880 lahirlah peraturan semacam itu yang pertama yang biasa disebut koeli-ordonnantie (kuli ordonansi) untuk Sumatera Timur, dan disusul untuk daerah-daerah lain.
Parlemen Belanda tidak dapat membebaskan dirinya dari dalil bahwa azas kadang-kadang atau acap kali harus menyingkir atau disingkirkan bila ada kepentingan tertentu. Hakekat punale sanksi ini sebetulnya tidak semata-mata pada dana denda antara Rp 16,00 sampai dengan Rp 26,00. Sebab dalam perjanjian atau peraturan majikan dapat pula ditetapkan suatu denda tertentu bila pihak buruh menyalahi isi perjanjian kerja. Yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kemungkinan diangkutnya buruh kembali ketempat pe- kerjaan untuk melakukan pekerjaan. Paksaan untuk melakukan sendiri segala sesuatu yang tadinya tidak dipenuhi, merupakan pelanggaran atas azas hukum bahwa orang yang tidak memenuhi kewajibannya harus bertanggung jawab hanya dengan kekayaannya tidak dengan paksaan melakukan sendiri. Punale sanksi ini memberikan kepada pengusaha kekuasaan terhadap buruhnya yang dapat menimbulkan perlakuan tidak baik dan keadaan perburuhan yang buruk, jika pemimpin perusahaan dan pembantu-pembantunya tidak tercegah untuk menyelewengkan dari jalan yang lurus oleh budi dan moral yang tinggi serta pendapaqt umum yang kuat dan pengawasan yang keras. Justru pada waktu itu tidak terdapat pendapat umum yang kuat dan pengawasan yang keras.

Penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1903 membuktikan adanya keadaan perburuhan yang sangat menyedihkan berupa :
Pemerasan tenaga buruh.
Penganiayaan buruh.
Pengawasan yang berpihak pada majikan.
Penyalahgunaan kekuasaan dan pengadilan. Dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu pada tahun 1904 di Sumatera Timur diadakan instansi pengawasan perburuhan (arbeids inspectie) sendiri. Tetapi instansi penga-wasan perburuhan dan pengawasannya yang keras pun tidak dapat mencegah ketidak adilan itu sendiri, karena justru ketidak adilan tersebut disahkan dengan peraturan-peraturan kuli ordonansi. Satu-satunya jalan ialah mencabut kembali peraturan-peraturan kuli ordonansi tersebut. Pencabutan dilakukan pada tahun 1941 dan mulai tanggal 1 Januari 1942 punale sanksi lenyap dari dunia perburuhan diperkebunan Indonesia.
Dari riwayat perburuhan dan ketenagakerjaan ini dapat dilihat bahwa perjuangan dalam perburuhan dan ketenagakerjaan sampai pada permulaan kemerdekaan Indonesia, baru mencapai usaha membebaskan buruh dari kekangan pihak majikan yang tidak wajar yaitu :
Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi dan kerja paksa.
Membebaskan buruh Indonesia dari punale sanksi.

Sedangkan tugas berikutnya yang masih belum tercapai adalah :
Membebaskan buruh dari ketakutan kehilangan pekerjaan secara semena-mena.
Memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomi yang seimbang.
Merupakan usaha yang pada umumnya masih harus terus diupayakan dan dikerjakan oleh buruh dan tenaga kerja Indonesia.


1.1.4. PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

Pada saat ini Negara Indonesia sudah tidak mengizinkan suatu perusahaan atau perorangan melakukan kerja paksa terhadap seorang pekerja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional), nomor 105 menyatakan bahwa Negara anggota ILO telah memutuskan tentang penerimaan usulan yang menyangkut penghapusan bentuk-bentuk tertentu dari kerja paksa atau kerja wajib yang merupakan pelanggaran hak manusia sebagaimana tertera dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia. Dan memutuskan bahwa usulan-usulan ini harus berbentuk Konvensi Internasional. Menerima pada tanggal 5 Juni tahun 1957 Konvensi nomor 105, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penghapusan Kerja Paksa seperti tersirat pada pasal 1 yaitu :
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan menggunakan kerja paksa dalam bentuk apapun .
a) Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pernyataan pandangan politik atau secara ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial dan ekonomi yang sah.
b) Sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk maksud pembangunan ekonomi.
c) Sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja.
d) Sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan.
e)Sebagai pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial, bangsa dan agama.
Juga pasal 2 Konvensi nomor 105 ILO ini menegaskan pada tiap anggotanya sebagai berikut : Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib mengambil tindakan efektif untuk menjamin penghapusan segera dan sepenuhnya atas kerja paksa atau kerja wajib sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Konvensi ini.


1.2. INDUSTRI KONSTRUKSI

Industri konstruksi dalam banyak segi memperlihatkan suatu gejala yang paradoksal, di Amerika Serikat industri konstruksi meliputi 10 % dari produk nasional bruto atau sekitar atau sekitar US $ 200 milyar, termasuk sektor industri terbesar. Tenaga kerja yang bekerja dalam sektor ini mencapai 9 % sampai 12 % dari seluruh tenaga kerja nasional, bahkan dapat mencapai 20 % dari seluruh tenaga kerja nasional.
Proyek konstruksi dapat dibagi dalam beberapa tipe yaitu :
o Konstruksi pemukiman (Residential Construction)
o Konstruksi gedung (Building Construction)
o Konstruksi rekayasa berat (Heavy Engineering Construction)
o Konstruksi industri (Industrial Construction)

Proyek konstruksi perlu ditangani secara sistematis, sebab proyek merupakan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan tertentu, kompleksitas, bersifat unik, tidak biasa, banyak resiko, tidak permanent dan siklus hidup dari beberapa kegiatan. Untuk memudahkan penanganan proyek konstruksi, biasanya dipimpin oleh seorang proyek manajer (PM) yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk mengimplementasikan dan menyelesaikan proyek tersebut.
Untuk mengimplementasikan dan menyelesaikan proyek diperlukan berbagai macam sumber daya yang dapat diwujudkan dalam bentuk biaya seperti :
o Biaya pembelian material dan peralatan.
o Biaya penyewaan atau pembelian peralatan konstruksi.
o Upah tenaga kerja.
o Biaya sub kontraktor.
o Biaya transportasi.
o Overhead dan administrasi.
o Fee / laba dan kontingensi

Dalam melaksanakan proyek PM tidak dapat bekerja sendiri, tetapi bekerja dalam bentuk satu tim yang terdiri dari berbagai keahlian dan ketrampilan. Agar proyek konstruksi dapat dilaksanakan dengan selamat, maka PM harus mampu untuk membuat pekerjaan dengan manajemen keselamaatan (Safety Management) yang menerapkan ukuran keselamatan sebelum terjadinya kecelakaan. Manajemen keselamatan yang efektif mempunyai tiga tujuan utama yaitu :
o Untuk membuat lingkungan kerja aman.
o Untuk membuat pekerjaan aman.
o Untuk membuat perasaan aman bagi pekerja.


RANGKUMAN

Sejarah perkembangan tenaga kerja di Indonesia diawali dengan perbudakan, punale sanksi, dan rodi yang terjadi selama masa penjajahan. Setelah era kemerdekaan masalah perbudakan, punale sanksi dan rodi sudah tidak ada lagi. Hal ini diperkuat dengan adanya Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
Industri konstruksi mempunyai empat bentuk proyek yaitu proyek pemukiman, bangunan gedung, bangunan industri, dan bangunan rekayasa berat. Dalam proses pembangunan pada industri faktor yang berhubungan dengan tenaga kerja sangat terkait dengan masalah lingkungan kerja aman, membuat pekerjaan aman dan membuat perasaan aman bagi pekerja.


LATIHAN

1. Jelaskan latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia ?
2. Apa yang dimaksud dengan pengertian di bawah ini, jelaskan !
a. Perbudakan
b. Kerja rodi
c. Punale sanksi
3. Jelaskan mengenai undang-undang penghapusan kerja paksa yang sudah di ratifikasi oleh negara Indonesia dari Konvensi ILO nomor 105 tsb ?
4. Jelaskan mengenai industri konstruksi dan permasalahannya ?
5. Jelaskan mengenai manajemen keselamatan kerja yang efektif dalam industri konstruksi ?