Jumat, 19 Desember 2008

safety

BAB I

PENDAHULUAN


TUJUAN

Tujuan dari bab ini adalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia, perkembangan dunia konstruksi dan aspek-aspek ketenaga kerjaan dalam industri konstruksi.

Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan mampu untuk :
Menjelaskan latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia.
Menjelaskan perkembangan dunia konstruksi dan permasalahannya .
Menjelaskan keselamatan kerja yang efektif dalam dunia industri konstruksi.


1.1. LATAR BELAKANG HISTORIS

Perkembangan sejarah tenaga kerja di Indonesia sudah berjalan panjang, sepanjang sejarah bangsa ini ada, yaitu masih terpecah-pecah dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil dengan berbagai karakter budaya dan kelompok etnisnya masing-masing. Sejarah ini berlanjut dengan masa penjajahan Belanda yang berumur ± 350 tahun dan dilanjutkan dengan masa penjajahan Bangsa Jepang selama ± 3,5 tahun, masa orde lama ± 20 tahun, dan masa orde baru ± 32 tahun. Masa yang begitu panjang ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga kerja sesuai dengan harapan tenaga kerja Indonesia dan sekaligus impian agar dapat sejajar dengan tenaga kerja yang ada di negara-negara Asean ataupun Asia atau bahkan dunia.

Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah ternyata belum mampu mengangkat tingkat kesejahteraan tenaga kerja, sehingga tenaga kerja Indonesia sangat terpuruk dalam hal kualitas hidup sehingga tidak mampu berkembang secara wajar. Sebagai perbandingan tenaga kerja Indonesia yang baru lulus STM (Sekolah Teknologi Menengah) jurusan Elektro, jika mereka bekerja di dalam negeri gaji pertama yang akan mereka terima paling besar antara Rp. 600.000,00 sampai dengan Rp 700.000,00 per bulan dengan fasilitas tambahan yang sangat terbatas dan jam kerja yang panjang. Sementara tenaga kerja dengan kualifikasi yang sama ditambah dengan pelatihan selama dua minggu. Mereka jika bekerja di Korea sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pada saat masuk pertama kali selama tiga bulan mendapat gaji bersih sebesar Rp. 5.000.000,00 sampai Rp. 7.000.000,00 per bulan. Walaupun untuk dapat bekerja di Korea mereka harus mengeluarkan dana sebesar Rp. 15.000.000,0 sampai Rp. 18.000.000,00 sebagai dana persiapan untuk pelatihan dan keberangkatan mereka ke Korea. Penghargaan yang sangat berbeda ini secara lebih jauh perlu diteliti, mengapa penghargaan terhadap tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri demikian kecil, sementara diluar negeri mereka mendapat penghargaan yang lebih baik.

Maraknya penanaman modal baik oleh PMA maupun PMDN, seharusnya dapat berdampak yang lebih baik kepada tenaga kerja Indonesia, sebab dengan demikian lapangan kerja yang tersedia akan semakin banyak. Tetapi hal ini tidak diikuti oleh penghargaan dan gaji yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja. Gaji selalu dikaitkan dengan kebutuhan fisik mininum (KFM), sehingga gaji minimum yang diberikan kepada tenaga kerja Indonesia didasarkan kepada upah minimum regional (UMR). Dan hal ini menjadi salah satu nilai jual oleh pemerintah kepada PMA atau PMDN bahwa upah tenaga kerja Indonesia sangat kompetitif (murah). Untuk mengenal secara lebih dekat dengan TKI (tenaga kerja Indonesia) ini, maka sebaiknya kita melihat kebelakang mengenai perkembangan TKI dari waktu ke waktu.


1.1.1. PERBUDAKAN

Pada zaman perbudakan ini, orang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain, yaitu para budak yang tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya. Yang mereka miliki hanyalah kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban mengikuti segala perintah, mengikuti semua petunjuk dan aturan dari pihak pemilik budak. Pemilik budak ini adalah satu-satunya pihak dalam hubungan antara pekerja dan pemberi pekerjaan yang mempunyai segala hak seperti hak minta pekerjaan, hak mengatur pekerjaan, hak memberi perintah, dan semua hak lainnya. Pemeliharaan budak dilakukan dengan memberikan para budak berupa pemondokan dan makan, bukan merupakan kewajiban bagi pemilik budak melainkan kebijaksanaan yang timbul dari keluhuran budi, walaupun kebanyakan terdorong oleh kepentingan pribadi berupa tidak kehilangan pekerjaan yang bermanfaat baginya. Pemeliharaan para budak bukan merupakan kewajiban pemilik budak, karena baik sosiologis maupun yuridis tidak ada aturan yang menetapkan demikian.

Gambaran yang disajikan diatas merupakan tinjauan secara yuridis mengenai perburuhan di zaman perbudakan. Menurut kepustakaan, kedudukan para budak di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain dahulu, adalah agak lumayan, berkat aturan tata susila masyarakat Indonesia yang tidak sekejam seperti negara lain itu. Sebagai bukti bahwa praktek perlakuan terhadap para Budak sangat mengerikan, ialah pemerintah Hindia Belanda dahulu mulai ikut mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817, tidak mengutik-utik hubungan antara budak dengan pemiliknya, tetapi hanya mengadakan larangan memasukkan budak ke Pulau Jawa, yang berarti membatasi bertambahnya budak lain dari pada kelahiran. Juga peraturan-peraturan berikutnya seperti :
1 Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1819.
2 Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak dari tahun 1820.
3 Peraturan tentang larangan mengangkat budak yang masih kanak-kanak dari tahun 1829.
4 Peraturan tentang pendaftaran anak budak darii tahun 1833.
5 Peraturan tentang penggantian nama para budak dari tahun 1834.
6 Peraturan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan budak dari tahun 1848.

Semuanya tidak menyinggung adanya nasib yang menyedihkan para budak sehingga memerlukan campur tangan dari pihak penguasa. Memang benar bahwa peraturan tentang budak dari tahun 1825 mengandung maksud meringankan nasib budak, dalam peraturan tersebut antara lain ditetapkan :
Barang siapa yang dipandang sebagai budak.
Membatasi bertambahnya jumlah budak lain dari pada kelahiran.
Melarang perdagangan budak dan mendatangkannya dari luar.
Menjaga agar anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-sama yaitu seorang budak yang telah kawin tidak boleh dipisahkan dari istri dan anaknya.
Memungkinkan pembebasan budak, misalnya seorang budak yang pernah mengikuti pemiliknya ke benua lain, menjadi merdeka sepulangnya kembali.
Seorang budak yang menolong tuannya atau anak tuannya dari bahaya maut, menjadi merdeka.
Mengatur kewajiban dan tindakan pada pemilik terhadap para budak mereka, misalnya para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka dan mengurus mereka dengan seksama.
Mengatur kewajiban para budak yaitu, para budak tidak boleh meninggalkan pekerjaan mereka, tidak boleh menolak pekerjaan yang layak.
Pelanggaran diancam dengan pidana pukulan rotan sebanyak-banyaknya 30 kali atau pidana penjara selama-lamanya 14 hari.
Pelarian diancam dengan perantaian untuk pertama kali tidak boleh lebih lama dari enam bulan dan sebagai ulangan tidak lebih lama dari dua tahun.

Persoalan hubungan antara budak dengan pemiliknya itu memang tidak terletak pada baik atau buruknya perlakuan para pemilik, sehingga persoalan juga tidak terletak pada mengadakan peraturan yang baik mengenai hubungan itu tetapi terletak pada hakekat perbudakan itu sendiri. Satu-satunya penyelesaian ialah mendudukkan para budak itu pada kedudukan manusia merdeka, baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Usaha tidak resmi seperti dari Java Benevolent Institution dari zaman pemerintahan Thomas Stamford Raffles, antara tahun 1818 dan 1824 untuk menjuruskan semua peraturan mengenai perbudakan akhirnya penghapusan perbudakan tidak membawa hasil. Pihak yang berpendirian bahwa penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran besar terhadap hak para pemilik budak, masih berkuasa memaksa pihak lainnya yang berpendapat bahwa adalah kezaliman yang lebih besar terhadap kemanusiaan merendahkan manusia menjadi barang milik.

Baru pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai 117 yang kemudian menjadi pasal 169 dan 171 Indische Staatsregeling 1926, dengan tegas ditetapkan paling lambat pada tanggal 1 Januari 1860 perbudakan diseluruh Indonesia dihapuskan dan selanjutnya memerintahkan suipaya diadakan peraturan-peraturan persiapan dan pelaksanaan secara setingkat demi setingkat mengenai penghapusan ini serta uang ganti rugi sebagai akibat sebagai penghapusan itu. Kemenangan orde kemanusiaan atau orde keadilan dan kebenaran merupakan kemenangan formal atas orde kezaliman, sebab nyatanya proses penghapusan perbudakan itu memerlukan waktu yang sangat panjang. Jika laporan kolonial tahun 1922 adalah yang terakhir memuat sesuatu mengenai perbudakan, sehingga baru sesudah tahun 1922 itu dapat dikatakan bahwa Indonesia resminya tidak terdapat perbudakan lagi. Untuk itu perlu waktu lebih dari enam puluh tahun, lebih dari satu generasi. Mungkin perbudakan badaniah (fisik) di pusat-pusat pemerintahan itu nyatanya tidak diketahui. Kalau pada tahun 1948 masih diberitakan adanya perbudakan di pedalaman Kalimantan, tidak mustahil kalau di daerah-daerah lain juga masih ada walaupun mungkin secara terpendam.

Bagaimanapun juga pada tahun-tahun 1960 an masih diberitakan adanya perbudakan mental yaitu di pihak yang satu yang pernah berkuasa dan masih berkuasa, ingin tetap memberi perintah saja dan pihak lainnya yang pernah diperintah dan selalu diperintah, memandang tunduk dan menuruti secara mutlak sebagai soal yang wajar.


1.1.2. PEKERJAAN RODI

Selain bentuk kerja perbudakan, sebagai digambarkan sebelumnya, sejak dulu kala dari para anggota suku atau anggota desa dimintakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk kepentingan mereka bersama dan untuk suku atau desa sebagai kesatuan. Di mana terdapat kerajaan dilakukan pula pekerjaan untuk keperluan kerajaan itu atau untuk keperluan raja.
Pekerjaan yang mula-mula merupakan pembagian pekerjaan antara sesama anggota untuk keperluan dan kepentingan bersama (gotong royong), karena perbagai keadaan dan alasan berkembang menjadi kerja paksa umtuk kepentingan seseorang atau pihak lain dengan tiada bayaran atau upah. Jika pekerjaan untuk suku atau desa ditujukan untuk membantu:
1 Penyelenggaraan keramaian.
2 Pemeliharaan bengkok.
3 Membantu rumah tangga kepala suku atau desa.
4 Pekerjaan untuk kepentingan kompeni atau gubernur dan pembesar-pembesarnya adalah semata-mata kerja paksa atau rodi.

Kerajaan-kerajaan di Jawa, kerja rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dsb.
Kompeni pandai menggunakan kerja rodi ini untuk kepentingannya sendiri. Rodi digunakannya untuk segala macam keperluan sendiri mendirikan benteng, pabrik, jalan, dan sebagainya, untuk pengangkutan barang. Hendrik Willem Daendels (1807-1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat jalan dari Anyer sampai Banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati akibat kerja rodi ini tidak terbilang. Thomas Stamford Raffles yang dalam tahun 1813 telah memproklamirkan penghapusan rodi, tidak sempat melaksanakan penghapusan tersebut Setelah Indonesia dikembalikan kepada Nederland (1816), rodi diperhebat untuk kepentingan gubernemen.
Kerja rodi dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu :
1 Rodi gubernamen yaitu untuk kepentingan gubernemen dan para pegawainya (herendienst).
2 Rodi perorangan yaitu rodi untuk kepentingan kepala-kepala dan pembesar-pembesar Indonesia (persoonlijke diensten).
3 Rodi desa yaitu rodi untuk kepentingan desa (desa diensten).
4 Rodi gubernemen dilakukan tampa bayaran dan dimintakan untuk memenuhi segala keperluan gubernemen dan keperluan pegawai-pegawainya. Disini terlihat beratnya rodi itu melebihi perbudakan. Kalau pemeliharaan budak berupa pemondokan, sandang dan pangan menjadi tanggung jawab pemilik budak, dalam rodi pemeliharaan para pekerja dipikul oleh pekerja rodi sendiri. Rodi gubernemen dan rodi perorangan merupakan beban yang berat bagi penduduk, bahkan mengekang kebebasannya untuk bertindak dan berbuat menurut kepentingannya sendiri. Baru pada tahun 1880-an kepada penduduk diberikesempatan untuk membebaskan diri dari kekangan itu dengan membayar pajak tertentu (hoodfdgeld). Proses hapusnya rodi itu juga memakan waktu yang lama yaitu baru pada tanggal 1 Februari 1938 pekerjaan rodi dihapuskan. Di tanah partikelir disebelah barat kali Cimanuk bahkan baru dihapuskan tahun 1946 oleh Commanding Officer Allied Military Administration Civil Affairs Branch (COAMACAB).
Kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang-orang lain dalam perjalanan ketentaraan (mars), dimana rakyat yaitu – semua lapisan rakyat – wajib menerima bayaran, melakukan pekerjaan pengangkutan dan menyediakan alat-alat pengangkutan, tidak dapat dipandang sebagai pekerjaan rodi. Kompensasi dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) nomor 29 mengenai kerja paksa atau kerja wajib mengatakan, bahwa kerja paksa atau kerja wajib adalah any work or service exacted in virtue of compulsory military service laws for work of a purely military character. Pekerjaan untuk keperluan ketentaraan tersebut hanya dimintakan dari laki-laki untuk siapa pekerjaan itu dapat dipandang sebagai luar biasa.
Pekerjaan rodi untuk keperluan desa, marga dan sebagainya diserahkan seluruhnya kepada desa, marga yang bersangkutan. Mengenai rodi desa ini pada umumnya diartikan pekerjaan wajib untuk keperluan desa. Karena itu menurut pandangan umum (1942) rodi desa bukanlah rodi untuk perorangan (persoonlijke diensten). Konvensi dari Organisasi Perburuhan Internasional nomor 29 tersebut diatas, tidak memandang sebagai kerja paksa atau kerja wajib yang terlarang (Minor communal service of kind, which being performed by the members of the community in the direct interest of the said community, can therefore be considered as normal civic obligation incumbent upon the member of the community or their direct representatives shall have the right to be consulted in regard to the need of such services).
Tidak memenuhi kewajiban melakukan pekerja an rodi desa diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah. Jika pelanggaran ini diulangi dalam waktu enam bulan, dapat dijatuhi pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan (KUH Pidana pasal 523).


1.1.3. PUNALE SANKSI

Perburuhan biasa, yaitu dimana pekerjaan dilakukan oleh buruh biasa untuk dan di bawah pimpinan seorang majikan dapat menerima upah disana-sini sudah ada tetapi tidak dapat meluas. Sebab walaupun sampai 1839 oleh gubernemen dipersewakan berbagai bidang tanah kepada orang-orang swasta bukan Indonesia, di antara 1830 sampai 1870 adalah gubernemen yang menjadi pengusaha terpenting, dan gubernemen ini menggunakan pekerja rodi sebanyak-banyaknya.
Mengenai perburuhan biasa ini peraturan yang pertama-tama dikeluarkan pada tahun 1819, mengharuskan supaya semua perjanjian kerja didaftar oleh residen sebelum didaftar para residen ini harus menyelidiki apakah pada waktu perjanjian kerja itu dibuat tidak dilakukan paksaan dan apakah syarat-syarat kerjanya cukup layak.
Pada tahun 1838 peraturan itu ditarik kembali dan diganti dengan yang baru dengan maksud untuk mempermudah gubernemen sebagai pengusaha perkebunan dalam mendapatkan buruh yang diperlukan. Pengusaha dibolehkan mengadakan perjanjian kerja dengan kepala desa untuk mendapatkan buruh. Perjanjian ini harus didaftarkan dan berlaku untuk selama lamanya lima tahun. Dalam perjanjian ini harus dimuat besarnya upah, makan dan perumahan serta macam pekerjaan yang harus dilakukan. Dalam menetapkan jumlah hari kerja harus diperhatikan waktu yang diperlukan buruh untuk mengolah sawah dan pekerjaan lain. (cultuurstelsel). Dengan dihapuskannya cultuurstelsel, peraturan dari tahun 1938 itu diubah dengan peraturan 1863, perjanjian dengan kepala desa tidak diperbolehkan lagi.
Dengan diadakannya Agrarische (Undang-Undang Agraria) tahun 1870 yang mendorong timbulnya peraturan perusahaan perkebunan swasta besar, soal perburuhan menjadi sangat penting bagi para pengusaha ini. Untuk menjamin perusahaan mendapat buruh yang tetap melakukan pekerjaannya, maka Algemene Politie Strafreglement ditambahkan ketentuan (stbl 1872 nomor 111) yang menetapkan bahwa buruh yang tidak dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaannya, dapat di- pidana dengan denda antara Rp. 16,00 dan Rp 25,00 atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari.
Baik diluar maupun di dalam Staten Generaal di Nederland aturan punale sanksi itu yang memberikan kedudukan unggul diluar batas kepada pengusaha dan membuka pintu penyalahgunaan, mendapat kecaman cukup pedas, sehingga pada tahun 1879 di cabut kembali. Parlemen yang mengusahakan pencabutan itu menyadari juga bahwa untuk daerah di mana tidak terdapat buruh, perlu diberikan kesempatan yang layak kepada para pengusaha untuk tidak menyia-nyiakan biaya yang sudah dikeluarkan guna mendatangkan buruh itu. Karena itu Parlemen yang berpendirian bahwa pada azasnya seorang buruh Indonesia bila menyalahi perjanjian kerjanya tidak seharusnya dipidana, memang perlu sebagai pengecualian terhadap azas tersebut adanya peraturan tersendiri bagi daerah perkebunan di Sumatera Timur. Pada tahun 1880 lahirlah peraturan semacam itu yang pertama yang biasa disebut koeli-ordonnantie (kuli ordonansi) untuk Sumatera Timur, dan disusul untuk daerah-daerah lain.
Parlemen Belanda tidak dapat membebaskan dirinya dari dalil bahwa azas kadang-kadang atau acap kali harus menyingkir atau disingkirkan bila ada kepentingan tertentu. Hakekat punale sanksi ini sebetulnya tidak semata-mata pada dana denda antara Rp 16,00 sampai dengan Rp 26,00. Sebab dalam perjanjian atau peraturan majikan dapat pula ditetapkan suatu denda tertentu bila pihak buruh menyalahi isi perjanjian kerja. Yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kemungkinan diangkutnya buruh kembali ketempat pe- kerjaan untuk melakukan pekerjaan. Paksaan untuk melakukan sendiri segala sesuatu yang tadinya tidak dipenuhi, merupakan pelanggaran atas azas hukum bahwa orang yang tidak memenuhi kewajibannya harus bertanggung jawab hanya dengan kekayaannya tidak dengan paksaan melakukan sendiri. Punale sanksi ini memberikan kepada pengusaha kekuasaan terhadap buruhnya yang dapat menimbulkan perlakuan tidak baik dan keadaan perburuhan yang buruk, jika pemimpin perusahaan dan pembantu-pembantunya tidak tercegah untuk menyelewengkan dari jalan yang lurus oleh budi dan moral yang tinggi serta pendapaqt umum yang kuat dan pengawasan yang keras. Justru pada waktu itu tidak terdapat pendapat umum yang kuat dan pengawasan yang keras.

Penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1903 membuktikan adanya keadaan perburuhan yang sangat menyedihkan berupa :
Pemerasan tenaga buruh.
Penganiayaan buruh.
Pengawasan yang berpihak pada majikan.
Penyalahgunaan kekuasaan dan pengadilan. Dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu pada tahun 1904 di Sumatera Timur diadakan instansi pengawasan perburuhan (arbeids inspectie) sendiri. Tetapi instansi penga-wasan perburuhan dan pengawasannya yang keras pun tidak dapat mencegah ketidak adilan itu sendiri, karena justru ketidak adilan tersebut disahkan dengan peraturan-peraturan kuli ordonansi. Satu-satunya jalan ialah mencabut kembali peraturan-peraturan kuli ordonansi tersebut. Pencabutan dilakukan pada tahun 1941 dan mulai tanggal 1 Januari 1942 punale sanksi lenyap dari dunia perburuhan diperkebunan Indonesia.
Dari riwayat perburuhan dan ketenagakerjaan ini dapat dilihat bahwa perjuangan dalam perburuhan dan ketenagakerjaan sampai pada permulaan kemerdekaan Indonesia, baru mencapai usaha membebaskan buruh dari kekangan pihak majikan yang tidak wajar yaitu :
Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi dan kerja paksa.
Membebaskan buruh Indonesia dari punale sanksi.

Sedangkan tugas berikutnya yang masih belum tercapai adalah :
Membebaskan buruh dari ketakutan kehilangan pekerjaan secara semena-mena.
Memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomi yang seimbang.
Merupakan usaha yang pada umumnya masih harus terus diupayakan dan dikerjakan oleh buruh dan tenaga kerja Indonesia.


1.1.4. PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

Pada saat ini Negara Indonesia sudah tidak mengizinkan suatu perusahaan atau perorangan melakukan kerja paksa terhadap seorang pekerja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional), nomor 105 menyatakan bahwa Negara anggota ILO telah memutuskan tentang penerimaan usulan yang menyangkut penghapusan bentuk-bentuk tertentu dari kerja paksa atau kerja wajib yang merupakan pelanggaran hak manusia sebagaimana tertera dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia. Dan memutuskan bahwa usulan-usulan ini harus berbentuk Konvensi Internasional. Menerima pada tanggal 5 Juni tahun 1957 Konvensi nomor 105, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penghapusan Kerja Paksa seperti tersirat pada pasal 1 yaitu :
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan menggunakan kerja paksa dalam bentuk apapun .
a) Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pernyataan pandangan politik atau secara ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial dan ekonomi yang sah.
b) Sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk maksud pembangunan ekonomi.
c) Sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja.
d) Sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan.
e)Sebagai pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial, bangsa dan agama.
Juga pasal 2 Konvensi nomor 105 ILO ini menegaskan pada tiap anggotanya sebagai berikut : Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib mengambil tindakan efektif untuk menjamin penghapusan segera dan sepenuhnya atas kerja paksa atau kerja wajib sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Konvensi ini.


1.2. INDUSTRI KONSTRUKSI

Industri konstruksi dalam banyak segi memperlihatkan suatu gejala yang paradoksal, di Amerika Serikat industri konstruksi meliputi 10 % dari produk nasional bruto atau sekitar atau sekitar US $ 200 milyar, termasuk sektor industri terbesar. Tenaga kerja yang bekerja dalam sektor ini mencapai 9 % sampai 12 % dari seluruh tenaga kerja nasional, bahkan dapat mencapai 20 % dari seluruh tenaga kerja nasional.
Proyek konstruksi dapat dibagi dalam beberapa tipe yaitu :
o Konstruksi pemukiman (Residential Construction)
o Konstruksi gedung (Building Construction)
o Konstruksi rekayasa berat (Heavy Engineering Construction)
o Konstruksi industri (Industrial Construction)

Proyek konstruksi perlu ditangani secara sistematis, sebab proyek merupakan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan tertentu, kompleksitas, bersifat unik, tidak biasa, banyak resiko, tidak permanent dan siklus hidup dari beberapa kegiatan. Untuk memudahkan penanganan proyek konstruksi, biasanya dipimpin oleh seorang proyek manajer (PM) yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk mengimplementasikan dan menyelesaikan proyek tersebut.
Untuk mengimplementasikan dan menyelesaikan proyek diperlukan berbagai macam sumber daya yang dapat diwujudkan dalam bentuk biaya seperti :
o Biaya pembelian material dan peralatan.
o Biaya penyewaan atau pembelian peralatan konstruksi.
o Upah tenaga kerja.
o Biaya sub kontraktor.
o Biaya transportasi.
o Overhead dan administrasi.
o Fee / laba dan kontingensi

Dalam melaksanakan proyek PM tidak dapat bekerja sendiri, tetapi bekerja dalam bentuk satu tim yang terdiri dari berbagai keahlian dan ketrampilan. Agar proyek konstruksi dapat dilaksanakan dengan selamat, maka PM harus mampu untuk membuat pekerjaan dengan manajemen keselamaatan (Safety Management) yang menerapkan ukuran keselamatan sebelum terjadinya kecelakaan. Manajemen keselamatan yang efektif mempunyai tiga tujuan utama yaitu :
o Untuk membuat lingkungan kerja aman.
o Untuk membuat pekerjaan aman.
o Untuk membuat perasaan aman bagi pekerja.


RANGKUMAN

Sejarah perkembangan tenaga kerja di Indonesia diawali dengan perbudakan, punale sanksi, dan rodi yang terjadi selama masa penjajahan. Setelah era kemerdekaan masalah perbudakan, punale sanksi dan rodi sudah tidak ada lagi. Hal ini diperkuat dengan adanya Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
Industri konstruksi mempunyai empat bentuk proyek yaitu proyek pemukiman, bangunan gedung, bangunan industri, dan bangunan rekayasa berat. Dalam proses pembangunan pada industri faktor yang berhubungan dengan tenaga kerja sangat terkait dengan masalah lingkungan kerja aman, membuat pekerjaan aman dan membuat perasaan aman bagi pekerja.


LATIHAN

1.Jelaskan latar belakang historis tenaga kerja di Indonesia ?
2.Apa yang dimaksud dengan pengertian di bawah ini, jelaskan !
a.Perbudakan
b.Kerja rodi
c.Punale sanksi
3.Jelaskan mengenai undang-undang penghapusan kerja paksa yang sudah di ratifikasi oleh negara Indonesia dari Konvensi ILO nomor 105 tsb ?
4.Jelaskan mengenai industri konstruksi dan permasalahannya ?
5.Jelaskan mengenai manajemen keselamatan kerja yang efektif dalam industri konstruksi

Tidak ada komentar: